Selasa, 14 Februari 2012
Kebijakan Energi Yang Melemahkan Bangsa
Harga BBM akhirnya naik lagi. Kenaikan ini diakui presiden telah disetujui diam-diam per tanggal 7 Februari 2012 melalui sebuah peraturan presiden. Meski judul yang dikeluarkan adalah “pembatasan BBM bersubsidi” namun hakekat dari kebijakan ini tidak dapat menipu; yakni kenaikan harga. Suara protes disertai opsi alternatif yang ramai dibicarakan tampak sama sekali tidak digubris oleh penguasa. Bersamaan dengan itu pemerintah telah mengagendakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% yang akan mulai diberlakukan beberapa pekan ke depan.
Dalam kebijakan energi ini, persoalan utamanya bukan subsidi yang tidak tepat sasaran, ataupun masalah pemborosan energi, seperti yang sering dikatakan para pejabat dan akademisi pendukung liberalisasi. Alasan-alasan ini hanya ekspresi dari cara pandang yang merendahkan arti penting energi bagi kemajuan bangsa. Penguasa sekarang tidak melihat energi sebagai kebutuhan fundamental dalam rangka memajukan masyarakat.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa tingkat kecerdasan masyarakat berbanding lurus dengan tingkat penggunaan energi dalam masyarakat. Artinya, makin tinggi pemanfaatan energi maka semakin cerdas pula suatu masyarakat. Dengan ketersediaan energi secara luas dan memadai maka akan semakin banyak pula kesempatan bagi masyarakat untuk belajar (membaca, menulis, menggunakan komputer, dll.) serta menggunakan berbagai alat berteknologi maju lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan energi.
Ini baru satu aspek. Aspek penting lainnya yang masih berhubungan adalah kemajuan tenaga produktif berupa penggunaan alat-alat kerja modern atau mesin-mesin untuk berbagai industri. Bila menginginkan negara ini maju maka kita perlu membandingkan penggunaan alat-alat kerja modern oleh rakyat di negeri-negeri maju. Semua alat modern tersebut, mulai dari industri pertanian, peternakan, perikanan, tambang, industri pengolahan, sampai dengan industri jasa (transportasi, kebersihan, dan lain-lain) didukung oleh ketersediaan energi yang cukup.
Begitu pentingnya energi bagi kemajuan suatu bangsa sehingga negara sebesar Uni Soviet menempatkan program ini dalam skala prioritas pada dekade awal pemerintahannya. Listrikisasi sampai ke desa-desa dicanangkan oleh pemimpin revolusinya, V.I. Lenin, kemudian dilanjutkan oleh Joseph Stalin dengan industrialisasi dalam skala besar. Dengan kebijakan energi yang tepat, dan tanpa tedeng aling-aling, maka Uni Soviet dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat.
Adalah kebodohan yang tidak termaafkan apabila pemerintah sekarang menyerahkan potensi energi yang melimpah di Tanah Air ini untuk perusahaan-perusahaan asing, sehingga energi berubah menjadi komoditi bisnis yang dijual dengan harga tinggi kepada rakyat. Kebodohan lainnya adalah tidak memanfaatkan potensi-potensi sumber daya energi selain energi fosil seperti sinar matahari, tenaga air, angin, arus laut, dan bahkan nuklir (bila bisa menjamin keamanannya). Mungkin pada tahap awal akan membutuhkan anggaran yang besar untuk membangun infrastruktur dan sebagainya, namun manfaatnya dalam jangka panjang akan sangat terasa.
Kenaikan harga BBM dan rencana kenaikan harga TDL yang terjadi berulangkali merupakan kesalahan fatal yang harus segera dihentikan. Bila ada penggunaan energi secara berlebihan untuk kegiatan yang tidak produktif maka penyelesaiannya bukan dengan menaikkan harga. Sebagai contoh, semakin banyaknya pengguna kendaraan bermotor (mobil maupun sepeda motor) bukanlah penyebab ‘keborosan’ dimaksud. Penyebabnya adalah tidak adanya kemauan pemerintah untuk menyediakan dan membenahi sarana transportasi massal yang ada, sehingga perusahaan-perusahaan otomotif asing yang terus menuai keuntungan.
Sudah cukup kita berkompromi dengan pemerintahan yang selalu mengatakan A tapi pelaksanaannya minus A. Pemerintahan yang selalu berjanji memajukan tapi langkah-langkahnya justru melemahkan kekuatan bangsa. Kebutuhan energi masih sangat besar untuk membangun masyarakat yang adil-makmur ke depan. Hingga sekarang baru 60% rakyat Indonesia yang dapat mengakses listrik. Bila liberalisasi ini terus dilakukan pemerintah maka bangsa ini akan semakin dilemahkan; industrinya, manusia-manusianya, dan kehidupan sosialnya secara keseluruhan. Karena itu, menjadi tanggungjawab kita semua untuk bersama menolak liberalisasi energi ini.
Kenapa Modal Asing Dipersoalkan?
Sejak UU PMA disahkan tahun 1967, modal asing kembali mengambil ‘kendali’ dalam perekonomian nasional Indonesia. Bahkan, karena regulasi yang membuka pintu ekonomi lebar-lebar, modal asing sudah berada dalam posisi “mendominasi” perekonomian. Ia sudah berjengkelitan di atas karpet ekonomi nasional.
Perdebatan soal modal asing sudah berlangsung sejak lama. Ia bahkan sudah berlangsung sejak Indonesia ini masih dalam gagasan para pejuang pembebasan nasional. Saat itu, mereka sangat sadar betul bahwa modal asing merupakan bagian dari praktek penjajahan itu sendiri. Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial, yang kemudian dikenal dengan Indonesia Menggugat, Bung Karno sudah menandai penanaman modal asing sebagai aspek melekat dalam imperialisme modern.
Kami anggap pandangan itu tidak berubah hingga detik-detik menjelang Indonesia dimerdekakan. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hampir semua peserta sepakat bahwa ekonomi Indonesia merdeka haruslah diorganisir dari kemampuan rakyat dan tidak bergantung kepada modal asing.
Sekarang ini Indonesia menjadi ‘lahan suburnya modal asing’. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM, pada semester 1-2011 realisasi investasi sebesar Rp115,6 triliun, dimana Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp33 triliun dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp82,6 triliun.
Sebagian besar investasi itu berasal dari Amerika dan Eropa. Modal AS di Indonesia pada 2008 mencapai USD157 juta. Lalu, pada tahun 2010, jumlah investasi AS sudah berkisar USD871 juta di luar migas. Sementara Indonesia juga menjadi penyerap 1,6% dari total investasi dari Eropa. Setidaknya ada sekitar 700 perusahaan dengan total investasi sekitar 50 miliar euro.
Kami tidaklah anti-asing, atau asal-asalan anti-modal asing, tetapi berusaha berfikir kritis terhadap dampak buruk modal asing terhadap pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional indonesia.
Fakta sudah menunjukkan bahwa keberadaan modal asing tidak membawa kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia. Ambil contoh: sejak tahun 1967 hingga sekarang kegiatan pertambangan Freeport di Papua sudah menghasilkan sedikitnya 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Jika diuangkan, maka jumlahnya mencapai ratusan ribu billion rupiah (itu beratus-ratus kali lipat dari jumlah APBN kita).
Tetapi, lihatlah kondisi rakyat di sana: kondisi infrastruktur masih buruk, rakyat hidup miskin, pengangguran dimana-mana, sekolah susah diakses, layanan kesehatan mahal, dan lain sebagainya. Ini juga nampak dari penjelasan Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, “rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar”.
Tidak ada satupun “imperialis” di dunia ini yang menanam kapital dengan semangat peri-kemanusiaan dan semangat menolong antar-sesama. Sebab kapitalisme, seperti dikatakan Lenin dalam “Imperialisme: Tahap Tertinggi Kapitalisme”, baik perkembangan tidak rata maupun taraf hidup yang setengah kelaparan dari massa adalah syarat fundamental dan tak terelakkan dan dalil utama cara produksi yang itu. Tujuan mereka adalah untuk menggali keuntungan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang: pemilik kapital.
Ini sudah disinggung oleh Bung Hatta sejak 70-an tahun yang lalu. Dalam satu potongan artikelnya di buku “Beberapa Fasal Ekonomi”, Bung Hatta menulis sebagai berikut:
“Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat (cetak miring sesuai aslinya), mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Pedoman bagi mereka untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkan mestilah lebih dari pada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dengan keadaan, industri agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu.
Dan, dengan jalan itu, tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, Industrialisasi Indonesia dengan kapital asing tidak dapat diharapkan. Apalagi mengingat besarnya resiko yang akan menimpa kapital yang akan dipakai itu. Industrialisasi dengan bantuan kapital asing hanya mungkin, apabila pemerintah ikut serta dengan aktif, dengan mengadakan rencana yang dapat menjamin keselamatan modal asing itu.
Jumat, 10 Februari 2012
Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
Akhirnya, setelah cukup lama menggelinding tidak jelas, kasus korupsi wisma atlet mulai menyeret aktor-aktor utamanya. Pada 3 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang petinggi partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka.
Di jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter, gebrakan KPK tersebut mengundang apresiasi banyak orang. Maklum, pejabat KPK sebelum periode sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus korupsi di sarang penguasa: istana dan partai demokrat.
Gairah anti-korupsi pun muncul kembali. Iklan anti-korupsi partai demokrat, yang juga melibatkan Angelina dan Anas Urbaningrum sebagai aktornya, jadi ‘bulan-bulanan’ kecaman warga Facebook. Bagi sebagian orang, dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan banyak orang Demokrat, bahkan kemungkinan menyeret Ketua Umumnya Anas Urbaningrum, jualan SBY tentang anti-korupsi sudah tidak laku lagi.
Pada tahun 2009 lalu, ketika dua petinggi KPK hendak dikriminalkan oleh Polisi, muncul gerakan sosial anti-korupsi yang cukup kuat di jejaring sosial. Di facebook, misalnya, dukungan terhadap gerakan ini mencapai jutaan orang/pengguna. Lalu, dalam kasus Prita Mulyasari, dukungan luas di dunia maya juga sangat besar.
Akan tetapi, kendati dukungan begitu melimpah ruah di dunia, tetapi di jalanan dukungan itu tidak terlalu signifikan. Sebagian besar facebooker dan tweeple (pengguna twitter), yang juga sebagian besar klas menengah, hanya sanggup bergerak di dunia maya.
Benar, jejaring sosial punya signifikansi dalam kampanye dan penggalangan isu. Hanya saja, aktivitas dunia maya (klik, update status, share) belum tentu bisa mengubah keadaan. Tetap saja gerakan sosial di dunia maya itu butuh aksi konkret di dunia nyata.
Internet, sengaja atau tidak, telah memprivatisasi kehidupan politik. Banyak orang mempercayai bahwa mensirkulasikan berbagai statemen, kronologis, atau manifesto untuk orang lain di jejaring sosial adalah aksi politik. Akhirnya, mereka mengabaikan pentingnya aksi politik di dunia nyata: aksi ke sasaran-sasaran kekuasaan, konfrontasi, penggalangan massa rakyat, dan seterusnya.
Kita pun melihat fenoma politik waktu luang. Aktualisasi politik sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadinya, kelihatan seperti aji-mumpung: mumpung ada waktu, ia melontarkan kritik via update status atau comment. Ini adalah gaya berpolitik klas menengah, yang terpisah dan kehilangan kontak dengan realitas dan massa luas.
‘Pengkultusan’ terhadap peran internet dalam sejumlah perubahan sosial di ‘Arab Spring”, khususnya di Tunisia dan Mesir, telah mengabaikan fakta: gerakan revolusioner di Mesir, juga Tunisia, tidak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar jikalau tidak ada pengorganisiran massa, propaganda massif, pengorganisiran rakyat, pembuatan panggung-panggung protes, dan seterusnya.
Di negara-negara yang sangat represif, seperti Mesir dan Tunisia, jejaring sosial memang bisa berperan penting dalam mempublikasikan aksi publik, menggalang solidaritas, dan mengorganisir protes. Akan tetapi, di negera yang sangat liberal seperti Indonesia, kontak langsung dengan massa justru menjadi sangat penting.
Lagi pula, jejarang sosial bisa sangat berguna bagi gerakan sosial, tapi ia tidak dapat diandalkan untuk melakukan revolusi; ia dapat memberi informasi, mengorganisir forum debat, dan menyerukan mobilisasi, tetapi ia tidak dapat menyediakan kepemimpinan dan organisasi untuk memastikan aksi politik sampai pada perebutan (bukan sekedar menggulingkan) kekuasaan.
Oleh karena itu, di tengah ‘kegentingan’ negara kita akibat korupsi, dan terutama sekali akibat eksploitasi neoliberal, sangat diharapkan adanya tindakan dan aksi politik yang konkret: protes besar-besaran, pawai akbar, rapat akbar, konfrontasi di pusat kekuasaan, dan lain-lain.
Melansir data Socialbakers.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta pengguna. Sedangkan pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta akun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, jejaring sosial memang potensial sebagai media propaganda dan meluaskan perlawanan.
Akan tetapi, dunia maya bukanlah arena perjuangan sosial sesungguhnya, melainkan di dunia nyata. Korupsi tidak akan berhenti kalau cuma dikecam, tetapi memerlukan adanya aksi politik untuk menghancurkan sistim ekonomi-politik yang telah memungkinkan terjadinya korusi.
Sudah tiba saatnya protes dan kemarahan di dunia maya dimanifestasikan di dunia nyata. Sudah tiba saatnya pula kaum militan di dunia maya menjalin kontak dengan realitas dan massa rakyat.
Langganan:
Postingan (Atom)