Kamis, 25 Agustus 2011

Surat Che Guevara kepada Fidel Castro




(surat ini dibacakan oleh Fidel Castro pada tanggal 3 oktober 1965,
Pada rapat terbuka yang mengumumkan
Komite sentral Partai Komunis Kuba
Yang baru terbentuk)


Havana,
Tahun Pertanian

Fidel:
Pada saat ini aku teringat banyak hal ketika aku pertama kali bertemu denganmu di rumah Maria Antonia, ketika kau mengusulkan aku untuk ikut serta, seluruh ketegangan-ketegangan terlibat dalam persiapan itu. Suatu ketika ketegangan-ketegangan itu akan menghampiri kita lagi dan menagih nyawa kita, dan kemungkinan nyata dari fakta itu memukul kita semua. Dikemudian hari tahukah kita bahwa itu benar, bahwa dalam Revolusi salah satu pihak akan menang atau mati (bila itu benar-benar revolusi). Banyak kawan yang berjatuhan sepanjang jalan menuju kemenangan.
Saat ini segala sesuatunya tidak lagi amatiran, karena kita lebih matang. Namun kejadian-kejadian mengulangi dirinya. Aku merasa bahwa aku harus memenuhi kewajibanku yang mengingatkan aku pada Revolusi Kuba dalam daerah teritorinya, dan kuucapkan selamat berpisah padamu, pada kawan-kawan pada Rakyatmu yang sekarang rakyatku juga.
Secara resmi aku mengundurkan diri dalam kedudukan dalam kepemimpinan Partai, kedudukan sebagai menteri, pangkat komandanku, dan kewarganegaraan kuba-ku. Tak ada yang legal yang mengikatku dengan Kuba. Satu-satunya ikatan adalah hal lain-ikatan yang tak bisa diputuskan seperti pemberhentian seseorang dari Jabatan.
Merenungkan kehidupan masa laluku, aku yakin aku telah bekerja dengan cukup jujur dan pengabdian untuk mengkonsolidasikan kejayaan revolusioner. Satu-satunya kesalahanku yang serius adalah tidak punya kepercayaan yang besar padamu saat pertama disierra maestro dulu, dan tidak segera yakin akan kualitasmu sebagai seorang pemimpin dan seorang revolusioner.
Hari-hari kehidupanku kulewati dengan indah disini, dan disisimu aku merasa bangga memiliki rakyat yang demikian tangguh menghadapi saat-saat penuh penderitaan dalam krisis Karibia itu. Jarang sekali ada negarawan yang lebih ulung darimu menghadapi saat-saat seperti itu. Aku pun bangga mengikutimu tanpa keraguan, mengidentifikasi dengan jelas jalan pikiran-pandangan-perhitungan menghadapi bahaya-dan prinsip-prinsipmu.
Kali ini bangsa-bangsa lain mengharapkan sumbangsihku. Dan aku bisa melakukannya tanpa mengikutsertakanmu karena tanggung jawabmu yang lebih besar sebagai pemimpin Kuba, dan tibalah saatnya bagi kita untuk berpisah.
Ketahuilah, bahwa aku melakukan tugas ini dengan campuran antara bahagia dan sedih. Kutinggalkan di sini harapan-harapanku yang paling murni sebagai seorang pembangun dan seluruh ketulusanku paling dalam. Itu semua sesungguhnya menimbulkan luka didalam jiwaku. Akan kubawa ke medan juang baru segala hal yang kau ajarkan padaku, semangat revolusioner rakyat kita, perasaan untuk memenuhi kewajiban yang amat suci: berjuang menentang Imperealisme di mana pun ia berada. Ini yang akan mengobati dan mengeringkan luka di jiwaku.
Kunyatakan sekali lagi bahwa aku melepaskan Kuba dari tanggung jawab apapun juga, kecuali teladan-teladan yang diberikannya. Kalau saja saat-saat akhir hayatku aku berada di bawah langit lain, pikiranku yang terakhir adalah tentang rakyat Kuba dan terutama tentang dirimu. Aku amat berterimakasih atas ajaran-ajaranmu, teladan-teladanmu, dan aku akan memegangnya hingga konsekuensi yang paling akhir dari tindakanku.
Aku akan selalu mengidentifikasikan dengan kebijakan luar negeri dari revolusi kita, dan akan meneruskannya. Dimanapun aku berada aku akan merasa bertanggung jawab terhadap revolusi Kuba, dan akan menjaganya. Aku tidak merasa malu bahwa aku tak meninggalkan kekayaan materi untuk anak-anak dan istriku; aku bahagia dengan cara seperti itu. Aku tak meminta apapun untuk mereka, karena Negara akan mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan untuk mereka.
Aku ingin mengatakan banyak hal padamu dan pada rakyat kita, namun aku merasa hal itu tidak perlu. Kata-kata tak akan mampu meng-ekspresikan apa yang ingin kuungkapkan itu, dan kupikir tak ada manfaatnya untuk membuat coretan lebih banyak lagi disini.
Hasta la Victoria siempre…!!! (maju terus menuju kemenangan)
Patria o muerte…!!! (Tanah air atau Mati)

Kupeluk kau dengan sepenuh semangat revolusionerku…..

Che

Sabtu, 20 Agustus 2011

6 Juta Hektar Tanah untuk Rakyat, Realitas atau Retorika?




Harian Media Indonesia, edisi 20 Agustus 2010, mengangkat berita mengenai pernyataan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, bahwa pemerintah akan membagikan lahan seluas 6 juta hektar kepada masyarakat ‘yang memerlukan’. Soal kriteria masyarakat ‘yang memerlukan, Joyo Winoto menyebut beberapa kriteria, diantaranya, masyarakat miskin, tidak memiliki tanah atau memiliki tanah dengan skala kecil, dan syarat lain seperti kesesuain profesi masyarakat penerima tanah. Masih menurut berita dari harian dan edisi yang sama, Joyo Winoto secara tegas menyatakan bahwa kebijakan pembagian tanah ini akan mengadopsi kebijakan serupa yang dilaksanakan di Venezuela. Penegasan yang agak mengejutkan karena merujuk pada sebuah transformasi sosial radikal di bidang pertanahan. Namun, seluruh kebijakan tersebut baru akan terlaksana setelah tuntasnya pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria.
Sekilas kebijakan pemerintah yang diungkapkan oleh kepala BPN tersebut menyiratkan keberpihakan pada rakyat miskin, khususnya kaum buruh tani serta petani gurem. Apalagi rujukan dari kebijakan itu adalah revolusi pertanahan yang dijalankan pemerintahan sosialis Hugo Chavez di Venezuela, sebagai bagian dari Revolusi Bolivarian yang dicanangkan Chavez semenjak berkuasa 12 tahun lalu. Tetapi, apakah pemerintahan SBY-Boediono (termasuk BPN sebagai salah satu aparatusnya) mampu mengimplementasikan kebijakan yang serupa ?
Persoalan Haluan Ekonomi
Kalau dirunut lebih jauh, wacana pembagian jutaan hektar tanah pada kaum miskin kali ini bukanlah yang pertama kalinya dikatakan oleh SBY maupun aparatusnya. Di awal tahun 2007, SBY mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang merencanakan redistribusi tanah seluas 8,1 juta hektar kepada rakyat miskin. Namun, pada kenyataannya, bukan redistribusi tanah bagi kaum miskin atau tani yang terjadi, melainkan penggusuran 24.257 KK petani dari lahannya. Dan, jumlah ini bertambah pada tahun 2008 menjadi 31.267 kk petani yang tergusur dari lahan yang menjadi tumpuan hidupnya.
Kasus agraria pada tahun 2007, menurut catatan BPN, juga meningkat menjadi 7.491 kasus dari 2.810 kasus agraria pada tahun 2006. Penghianatan pada kaum tani semakin nampak ketika pemerintah dan DPR mengesahkan UU Penanaman Modal pada Maret 2007 yang memberi ruang bagi investor asing untuk menguasai tanah di negeri ini hingga 95 tahun. Selain itu, program BPN Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita), yang diklaim sebagai sertifikasi pertanahan bagi rakyat, pada kenyataannya adalah implementasi dari proyek pasar tanah liberal Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Policy Development Project (LMPDP) yang diintrodusir Bank Dunia. Proyek yang telah dijalankan sejak tahun 2005-2009 tersebut sekedar melegalisasi struktur agraria yang timpang dan tidak berpihak pada petani maupun kaum miskin.
Kini, pemerintahan SBY-Boediono beserta DPR tengah membahas RUU Pengadaan Tanah sebagai regulasi yang menyempurnakan Perpres 65/2006 mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum (baca : pemodal). Perpres 65/2006 inipun merupakan hasil revisi dari Perpres 36/2005 yang diproduksi rezim SBY-JK pasca penyelenggaraan Infrastructure Summit 2005. Perpres 36/2005 tersebut ditolak oleh berbagai kalangan masyarakat karena sarat kepentingan pemodal yang bergerak disektor infrastruktur. Namun revisi yang berbuah Perpres 65/2006 itu tidak menunjukkan perubahan yang substansial.
Setelah 4 tahun berselang, pemerintahan SBY-Boediono berencana menaikkan Perpres 65/2006 tersebut menjadi UU Pengadaan Tanah dengan berbasiskan pemikiran serupa, yakni memudahkan investor menanamkan modalnya di sektor infrastruktur maupun jasa melalui penguasaan tanah guna memacu pertumbuhan ekonomi. Lalu, bagaimana janji SBY yang akan me-redistribusi jutaan hektar tanah bagi kaum miskin ?
Realitas yang ada justru menunjukkan semakin masifnya penggusuran tanah rakyat dan petani oleh pemerintah, yang dibelakannya adalah para pemilik modal. KPA mencatat, sepanjang tahun 2009 terjadi 89 kasus konflik agraria yang dilaporkan masyarakat dengan luas sengketa 133.278,79 hektar dan korban langsung sebanyak 7.585 kk. Kasus penembakan petani di Ogan Ilir, Takalar, Ujung Kulon dan Rokan Hulu adalah bagian kecil kasus konflik agraria yang mengorbankan petani.
Berbagai kebijakan pemerintah yang menumbalkan kaum tani tersebut tidak terlepas dari haluan ekonomi neo-liberal yang dianut rezim SBY, baik periode lalu (SBY-JK) maupun kini (SBY-Boediono). Haluan ekonomi yang menganjurkan liberalisasi pasar pertanahan (land market) demi memacu gairah investor swasta berinvestasi di sektor pertanian, perkebunan, dan infrastruktur. Sementara nasib jutaan kaum tani gurem dan buruh tani semakin termarjinalkan akibat ketiadaan modal untuk bersaing dengan para investor.
Ganti Haluan
Setelah meninjau janji-janji manis pemerintahan SBY di atas, maka sulit untuk mempercayai janji yang meluncur dari mulut kepala BPN terkait pembagian 6 juta hektar kepada rakyat miskin. Sebab ,pembagian tanah atau yang lebih dikenal sebagai reforma agraria (land reform) bagi kaum miskin dan petani bukanlah kebijakan yang parsial, melainkan bagian dari sebuah grand design sistem ekonomi yang berlaku di level negara. Bila kepala BPN mengatakan akan mencontoh Venezuela dalam kebijakan land reform tersebut, maka hal itu menjadi sulit dibayangkan mengingat sistem perekonomian Indonesia yang sangat neo-liberal; sementara Venezuela cenderung sosialistik.
Maka, kalau SBY mau konsisten dengan janjinya seperti disebutkan di atas, maka tidak ada pilihan lain keciuali mengganti haluan ekonominya; dari haluan ekonomi neoliberal menjadi ekonomi kerakyatan sesuai dengan konstitusi (UUD 1945 asli). Namun, apabila rezim ini tidak berganti haluan, maka land reform yang berpihak pada kaum miskin dan tani hanyalah sebatas retorika belaka.

Rabu, 17 Agustus 2011

Menyorot Ulah Agen Minyak Tanah (bersubsidi)


Beberapa minggu lalu saya di datangi seorang Ibu yang adalah pemilik "pangkalan MT" di sebuah kelurahan di Kota Manado, sang ibu bercerita banyak tentang ulah agen yang menurutnya sangat aneh....Pihak agen mewajibkan pangkalan membeli Tabung Gas sebagai syarat agar dapat memperoleh jatah Minyak Tanah menurut mereka (pihak agen) kalau pangkalan tidak membeli maka tidak akan memperoleh Minyak Tanah, yang menjadi persoalan sang Ibu adalah pangkalan tempat dia menjual Minyak Tanah adalah kompleks pemukiman rakyat Miskin yang rakyatnya hanya membutuhkan Minyak Tanah atau Kayu api, kalau dia membeli Tabung gas yang dimaksud kemana dia akan menjualnya,...???? Apakah ini cara PERTAMINA melakukan sosialisasi...???? sebagai seorang yang aktif mengadvokasi persoalan sosial maka saya hanya bisa mengecam keras dan saat ini mulai melakukan advokasi Rakyat dalam sebuah gerakan aksi massa untuk mendatangi Pertamina mempertanyakan Persoalan ini, semoga Tulisan ini dapat dibaca oleh pihak yang berwenang agar bersama-sama menyikapi persoalan ini....

Sabtu, 13 Agustus 2011

SURAT TERBUKA BUAT KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA


Dengan Hormat,
Sebagaimana tertuang dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial dengan Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim. Dimana pada pembukaan mengatakan “ Pengadilan yang mandiri, Netral (tidak memihak), kompoten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan condition sine qua non atau persyaratan mutlak dalam Negara yang berdasarkan hukum.
Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Sulawesi Utara sebagai sebuah Organisasi Non Pemerintah (LSM), mengapresiasi Langkah Komisi Yudisial Republik Indonesia dengan positif dalam rangkah mewujudkan Peradilan yang Bersih, pada kesempatan ini GERAK akan menyampaikan Laporan kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia sehubungan sebuah proses Hukum yang tidak adil, Netral, transparan serta berwibawa hukum yang di pertotonkan dengan telanjang di hadapan rakyat oleh Hakim di Pengadilan Negeri Manado. Kasus Dugaan SPPD fiktif Dr. Elly Engelbert Lasut, ME (Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud) agar dapat lebih jelas dapat kami sajikan kronologis Kasus sebagai Berikut:
A. Tinjauan Umum: (sebuah proses Kriminalisasi Hukum)
1. Dr. Elly Engelbert Lasut, ME (Bupati Kabupaten Talaud 2 Periode) mempersiapkan diri dalam mengikuti Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara yang akan di laksanakan pada 03 Agustus 2010.
2. Akhir Tahun 2009 (Desember) Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara lewat keterangan Pers-nya menyapaikan akan ada kasus spektakuler di Sulawesi Utara yang melibatkan orang penting di Sulawesi Utara.
3. Pada Minggu Pertama Januari 2011 di mulai dilaksanakan Penyelidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara di Kabupaten Kepulauan Talaud. Saat penyelidikan ini juga dimulai tawaran, ancaman kepada Dr. Elly Engelbert Lasut, ME dan beberapa orang dekatnya agar menghentikan langkah untuk ikut dalam PILKADA Gubernur Sulawesi Utara.
4. Bulan Februari 2011 pada Minggu pertama pihak kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara kemudian menetapkan Dr. Elly Engelbert Lasut, ME sebagai tersangka Kasus SPPD Fiktif.

5. Situasi Politik di Sulawesi kian memanas ketika di temukan juga rekaman tentang konspirasi PILKADA Gubernur Sulawesi Utara yang dengan gamblang dapat di dengar di duga kuat suara beberapa pejabat penting di Sulawesi Utara dan Pejabat KPU pusat (yang saat ini terjerat pula dengan kasus Mafia Pemilu dan Pemalsuan Putusan MK).
6. Setelah di periksa beberapa kali Dr. Elly Engelbert Lasut, ME., tidak dilakukan penahanan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, namun menjelang Kampanye Pilkada Gubenur pihak Kejaksaan terkesan dengan tergesa-gesa segera melakukan penahanan.
7. Kemudian atas Penahanan ini maka Pihak Dr. Elly Engelbert Lasut, ME., melakukan perlawanan hukum dengan proses Pra-Peradilan hasilnya Hakim Pra-Peradilan memenangkan Permohonan Pemohon (Dr. Elly Engelbert Lasut,ME.), sangat di sayangkan dan menjadi pertanyaan rakyat yang melek hokum karena putusan ini tak dapat di eksekusi.

B. TINJAUAN GERAK PADA PUTUSAN HAKIM PN MANADO:
1. Pada putusan ini tidak menyebutkan Pasal yang dilanggar oleh terdakwa, majelis Hakim hanya menyebutkan undang-undangnya saja, karena pasal-pasal yang digunakan Jaksa penuntut Umum (JPU) sebenarnya pasal tersebut untuk pejabat Pengelola Keuangan Daerah/Bendahara, Bukan untuk Bupati sebagai Pejabat pembuat kebijakan, sehingga sekali lagi saya katakan bahwa Majelis Hakim Yang Mulia tidak menyebutkan pasal-pasal tersebut dalam putusan. (Ex: dalam putusan tidak disebutkan pasal yang melarang pencairan dana per-triwulan, karena sebenarnya tidak ada peraturan yang melarang hal tersebut, dan dalam tuntutan JPU juga tidak menyebutkan pasal yang melarang pencairan dana per-triwulan. Sehingga dengan tidak disebutkannya pasal-pasal yang dilanggar, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP (putusan Pidana harus memuat pasal yang menjadi dasar hukum putusan) dan bertentangan dengan Asas Legalitas)
2. Mengenai PERMENKEU No. 7/2003 yang sudah dinyatakan tidak berlaku, namun masih di gunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), maupun oleh Majelis Hakim yang Mulia dalam putusannya.
3. Keliru pertimbangan Hakim yang menyatakan perbuatan melawan Hukum Terdakwa adalah karena memerintahkan untuk penarikan dan penyerahan secara tunai maupun yang ditransfer, Karena: Kewenangan memerintah serta membuat kebijakan jelas dibolehkan menurut pasal 156 UU No. 32/2004 dan pasal 5 PP 58/2005 yang jelas menyatakan Bupati memiliki kewenangan untuk memerintah serta menetapkan kebijakan APBD, dan sesuai bukti dan Saksi dana tersebut Memang dipergunakan untuk kegiatan dinas dan bukan untuk pribadi.
4. Majelis Hakim telah menyatakan sependapat dengan pendapat Prof. Andi Hamzah bahwa biar saja pencairan dana per-triwulan asalkan benar digunakan untuk kegiatan dinas,tetapi Hakim “mempertanyakan” dalam hal ini Hakim ragu apakah uang tersebut seluruhnya benar digunakan???...sehingga kalau Hakim ragu/tidak yakin, seharusnya dinyatakan Tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan, karena Hakim juga tidak dapat membuktikan bahwa uang digunakan untuk kepentingan pribadi. Karena Pasal 183 KUHAP menyatakan Hakim harus yakin dalam
5. secarah sah dan meyakinkan, karena Hakim juga tidak dapat membuktikan bahwa uang digunakan untuk kepentingan pribadi. Karena Pasal 183 KUHAP menyatakan Hakim harus yakin dalam

menyatakan Terdakwa bersalah, selain itu telah dikutip beberapa pendapat ahli yang mendukung hal tersebut. Keraguan yang dikaitkan karena administrasi tidak sesuai prosedur, hal tersebut bukan perbuatan dan tanggung jawab Bupati dan ini semua telah terungkap menjadi fakta persidangan yang telah diakui/dibenarkan oleh Hakim.
6. “Memperkaya Diri sendiri dan atau Orang lain”….. dari Kalimat ….”berapapun besarnya” jelas telah memperlihatkan bahwa Hakim ragu-ragu dalam menyatakan unsur ini terbukti, karena tidak ada bukti yang menunjukkan Bupati telah mengambil keuntungan dirinya sendiri ataupun memperkaya orang lain. Berdasarkan UU No. 1/2004 pasal 1 ayat (22), PP No. 58/2005, Yurisprudensi (Putusan MA) No. 386 K/PID/ serta pendapat Ahli Prof. Andi Hamzah dan DR. Margarito Kamis, MH. Menjelaskan bahwa: harus ada bukti secara pasti terdakwa atau orang lain memperoleh sejumlah Uang atau benda, dan juga jumlah kerugian Negara harus pasti/tidak boleh “berapa pun besarnya”. Selain itu dalam putusannya halaman 539 Hakim jelas menyatakan secara materiil uang digunakan untuk perjalanan dinas, sehingga tidak benar jika Bupati memperkaya diri sendiri. Mengenai pertimbangan “terbukti secara formil uang berpindah ke THIO HOA SAN, DAVID BUSTAN, GD-OTA sehingga secara langsung atau tidak langsung telah memperkaya orang lain”, adalah keliru karena secara materiil (Fakta persidangan) bias dibuktikan bahwa uang tersebut digunakan untuk kegiatan dinas bukan untuk pribadi, dan dalam hokum pidana yang dicari adalah Kebenaran Materiil, bukan kebenaran Formil.
7. Tentang “KERUGIAN NEGARA” adalah Keliru pendapat Hakim yang menyatakan pasal 1 ayat (22) UU No. 1/2004 (tentang kerugian Negara harus Pasti), SULIT diterapkan dalam perkara ini, karena sebenarnya jika Hakim mau menerapkan pasal tersebut maka unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain dan unsur kerugian Negara pasti tidak terpenuhi, karena dalam pertimbangan Hakim pada unsure memperkaya diri sendiri dan kerugian Negara sangat terlihat ragu-ragu/Tidak bias memastikan apakah benar Terdakwa telah memperkaya diri sendiri ataupun Orang lain, berapa jumlah uang yang dinikmati terdakwa dan dalam bentuk apa.
Dalam persidangan Jaksa mempermasalahkan ada 27 SPPD fiktif dan menuntut uang pengganti Rp. 5.500.000.000,- padahal ke-27 SPPD tersebut jumlahnya hanya berkisar kira-kira Rp. 1.000.000.000, Namun yang “katanya fiktif” tersebut itu juga akhirnya dapat dibuktikan Oleh Terdakwa/Bupati kegiatan/perjalanan Dinas tersebut memang dilaksanakan, dan yang memalsukan SPPD tersebut adalah saksi Lenny R. Takarendehang tanpa sepengaetahuan Bupati (Ini juga telah diakui oleh Majelis Hakim yang Mulia pada putusan Halaman 517). Pada Putusan ini Juga bahwa terlihat adanya Kontradiksi pertimbangan Hukum, dilihat dalam halaman 526 secara tegas mengatakan bahwa pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Daerah bukan tanggung jawab Bupati, tapi dalam pertimbangan lainnya masih mengkait-kaitkan tentang pertanggung jawaban tidak sesuai prosedur seakan-akan menjadi kesalahan Bupati/terdakwa. Dalam halaman 526 alinea 1 dan 4 mempertanyakan apakah dana benar telah digunakan seluruhnya, padahal dalam pertimbangan halaman 522,523,539 menyatakan secara materiil uang yang diterima Bupati telah digunakan seluruhnya untuk kegiatan Dinas.
8. Harusnya Persidangan yang mulia memeriksa kembali Saksi Lenny R. Takarendehang, karena Hakim tidak mempertimbangkan Bukti-bukti (rekening pribadi Lenny R. Takarendehang) yang di Duga Kuat membuat dokumen fiktif untuk menutupi uang yang ada dalam rekening pribadinya. Permohonan Bupati Dr. Elly Engelbert Lasut ME. Agar persidangan memeriksa kembali data-data asli yang telah disita penyidik TIDAK di kabulkan/diperlihatkan dalam persidangan ini.

Melihat fakta-fakta diatas maka Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Sulawesi Utara meminta kepada yang Terhormat Ketua Komisi Yudisial agar:
Segera Menyelidiki Hakim PN manado yang memutuskan perkara yang dimaksud, yang di duga sarat dengan konspirasi sehingga mengabaikan asas-asas penegakkan supremasi Hukum di Indonesia.
Demikian surat ini kami buat dengan harapan dapat segera mendapat perhatian yang serius, atas perhatiannya sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terimakasih.



Manado, 12 Juli 2011
Gerakan Rakyat Anti Korupsi
Sulawesi Utara



Jimmy R. Tindi
Direktur Executif



AMBIGUITAS HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA Dr. ELLY ENGELBERT LASUT, ME.



Catatan Pinggir: Jimmy R. Tindi (ketua Gerakan Rakyat Anti Korupsi SULUT)

Akhir Tahun 2010 lalu tentunya kita di kagetkan dengan putusan Hakim Pengadilan Negeri Manado terhadap perkara “dugaan SPPD fiktif” Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, Dr. Elly Engelbert Lasut,ME. Setelah melewati sebuah proses persidangan yang melelahkan dan menyita waktu yang cukup panjang akhirnya kemudian serta merta hakim menjatuhkan vonis 7 Tahun penjara buat Bupati Kabupaten Talaud (non aktif) Dr. Elly Engelbert Lasut, ME.
Tentunya putusan ini cukup mengagetkan sejumlah kalangan terutama bagi pendukung E2L (sapaan akrab Dr. Elly Engelbert Lasut,ME.) tak hanya itu Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah serta Pakar Hukum Tata Negara DR. Margarito Kamis, MH cukup tercengang dengan putusan ini. Ada beberapa point yang dapat di cermati dalam putusan ini antara lain:

1.      Pada putusan ini tidak menyebutkan Pasal yang dilanggar oleh terdakwa, majelis Hakim hanya menyebutkan undang-undangnya saja, karena  pasal-pasal yang digunakan Jaksa penuntut Umum (JPU) sebenarnya pasal tersebut untuk pejabat Pengelola Keuangan Daerah/Bendahara, Bukan untuk Bupati sebagai Pejabat pembuat kebijakan, sehingga sekali lagi saya katakan bahwa Majelis Hakim Yang Mulia tidak menyebutkan pasal-pasal tersebut dalam putusan. (Ex: dalam putusan tidak disebutkan pasal yang melarang pencairan dana per-triwulan, karena sebenarnya tidak ada peraturan yang melarang hal tersebut, dan dalam tuntutan JPU juga tidak menyebutkan pasal yang melarang pencairan dana per-triwulan. Sehingga dengan tidak disebutkannya pasal-pasal yang dilanggar, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP (putusan Pidana harus memuat pasal yang menjadi dasar hukum putusan) dan bertentangan dengan Asas Legalitas)
2.      Mengenai PERMENKEU No. 7/2003 yang sudah dinyatakan tidak berlaku, namun masih di gunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),  maupun oleh Majelis Hakim yang Mulia dalam putusannya.
3.      Keliru pertimbangan Hakim yang menyatakan perbuatan melawan Hukum Terdakwa adalah karena memerintahkan untuk penarikan dan penyerahan secara tunai maupun yang ditransfer, Karena: Kewenangan memerintah serta membuat kebijakan jelas dibolehkan menurut pasal 156 UU No. 32/2004 dan pasal 5 PP 58/2005 yang jelas menyatakan Bupati memiliki kewenangan untuk memerintah serta menetapkan kebijakan APBD, dan sesuai bukti dan Saksi dana tersebut Memang dipergunakan untuk kegiatan dinas dan bukan untuk pribadi.
4.      Majelis Hakim telah menyatakan sependapat dengan pendapat Prof. Andi Hamzah bahwa biar saja pencairan dana per-triwulan asalkan benar digunakan untuk kegiatan dinas,tetapi Hakim “mempertanyakan” dalam hal ini Hakim ragu apakah uang tersebut seluruhnya benar digunakan???...sehingga kalau Hakim ragu/tidak yakin, seharusnya dinyatakan Tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan, karena Hakim juga tidak dapat membuktikan bahwa uang digunakan untuk kepentingan pribadi. Karena Pasal 183 KUHAP menyatakan Hakim harus yakin dalam menyatakan Terdakwa bersalah, selain itu telah dikutip beberapa pendapat ahli yang mendukung hal tersebut. Keraguan yang dikaitkan karena administrasi tidak sesuai prosedur, hal tersebut bukan perbuatan dan tanggung jawab Bupati dan ini semua telah terungkap menjadi fakta persidangan yang telah diakui/dibenarkan oleh Hakim.
5.      “Memperkaya Diri sendiri dan atau Orang lain”….. dari Kalimat ….”berapapun besarnya” jelas telah memperlihatkan bahwa Hakim ragu-ragu dalam menyatakan unsur ini terbukti, karena tidak ada bukti yang menunjukkan Bupati telah mengambil keuntungan dirinya sendiri ataupun memperkaya orang lain. Berdasarkan UU No. 1/2004 pasal 1 ayat (22), PP No. 58/2005, Yurisprudensi (Putusan MA) No. 386 K/PID/ serta pendapat Ahli Prof. Andi Hamzah dan DR. Margarito Kamis, MH. Menjelaskan bahwa: harus ada bukti secara pasti terdakwa atau orang lain memperoleh sejumlah Uang atau benda, dan juga jumlah kerugian Negara harus pasti/tidak boleh “berapa pun besarnya”. Selain itu dalam putusannya halaman 539 Hakim jelas menyatakan secara materiil uang digunakan untuk perjalanan dinas, sehingga tidak benar jika Bupati memperkaya diri sendiri. Mengenai pertimbangan “terbukti secara formil uang berpindah ke THIO HOA SAN, DAVID BUSTAN, GD-OTA sehingga secara langsung atau tidak langsung telah memperkaya orang lain”, adalah keliru karena secara materiil (Fakta persidangan) bias dibuktikan bahwa uang tersebut digunakan untuk kegiatan dinas bukan untuk pribadi, dan dalam hokum pidana yang dicari adalah Kebenaran Materiil, bukan kebenaran Formil.
6.      Tentang “KERUGIAN NEGARA” adalah Keliru pendapat Hakim yang menyatakan pasal 1 ayat (22) UU No. 1/2004 (tentang kerugian Negara harus Pasti), SULIT diterapkan dalam perkara ini, karena sebenarnya jika Hakim mau menerapkan pasal tersebut maka unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain dan unsure kerugian Negara pasti tidak terpenuhi, karena dalam pertimbangan Hakim pada unsure memperkaya diri sendiri dan kerugian Negara sangat terlihat ragu-ragu/Tidak bias memastikan apakah benar Terdakwa telah memperkaya diri sendiri ataupun Orang lain, berapa jumlah uang yang dinikmati terdakwa dan dalam bentuk apa.
Dalam persidangan Jaksa mempermasalahkan ada 27 SPPD fiktif dan menuntut uang pengganti Rp. 5.500.000.000,- padahal ke-27 SPPD tersebut jumlahnya hanya berkisar kira-kira Rp. 1.000.000.000, Namun yang “katanya fiktif” tersebut itu juga akhirnya dapat dibuktikan Oleh Terdakwa/Bupati kegiatan/perjalanan Dinas tersebut memang dilaksanakan, dan yang memalsukan SPPD tersebut adalah saksi Lenny R. Takarendehang tanpa sepengaetahuan Bupati (Ini juga telah diakui oleh Majelis Hakim yang Mulia pada putusan Halaman 517).
7.      Pada Putusan ini Juga bahwa terlihat adanya Kontradiksi pertimbangan Hukum, dilihat dalam halaman 526 secara tegas mengatakan bahwa pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Daerah bukan tanggung jawab Bupati, tapi dalam pertimbangan lainnya masih mengkait-kaitkan tentang pertanggung jawaban tidak sesuai prosedur seakan-akan menjadi kesalahan Bupati/terdakwa. Dalam halaman 526 alinea 1 dan 4 mempertanyakan apakah dana benar telah digunakan seluruhnya, padahal dalam pertimbangan halaman 522,523,539 menyatakan secara materiil uang yang diterima Bupati telah digunakan seluruhnya untuk kegiatan Dinas.

Harusnya Persidangan yang mulia memeriksa kembali Saksi Lenny R. Takarendehang, karena Hakim tidak mempertimbangkan Bukti-bukti (rekening pribadi Lenny R. Takarendehang) yang di Duga Kuat membuat dokumen fiktif untuk menutupi uang yang ada dalam rekening pribadinya. Permohonan Bupati Dr. Elly Engelbert Lasut ME. Agar persidangan memeriksa kembali data-data asli yang telah disita penyidik TIDAK di kabulkan/diperlihatkan dalam persidangan ini.
Mencermati beberap point diatas maka sangat jelas kita melihat sikap Ambiguitas/sikap mendua/ragu-ragu oleh Majelis Hakim Yang Mulia, tapi apa lacur atas Nama Ketuhanan Yang Maha Esa Majelis Hakim dengan segala kewenangannya mengetok palu dengan Vonis 7 Tahun dalam kondisi “Ragu-Ragu” kita masih menunggu siapa lagi yang akan divonis dalam kondisi ragu-ragu…..walahualam…!!!!