Jumat, 30 Desember 2011

Absennya Keadilan (sebuah Refleksi Akhir Tahun)



Di negeri bernama Indonesia, rakyat kecil mondar-mandir mencari keadilan. Mereka mengetuk pintu-pintu pengadilan. Tetapi, bukan keadilan yang mereka dapatkan, melainkan penghinaan dan ketidakadilan. Keadilan seolah bukan haknya orang-orang kecil dan lemah di negeri ini.

Tidak terhitung jumlah orang miskin, umumnya dengan kesalahan yang ringan, menjadi korban ketidakadilan lembaga-lembaga peradilan dan aparat penegak hukum di negeri ini. Sebaliknya: tidak sedikit pejabat korup yang dengan gampangnya lolos dari jaring penegak hukum yang memang tak bisa berlaku adil ini.

Kita tengok nasib Anjar Andreas Lagaronda, 15 tahun, seorang pelajar SMU di kota Palu, yang terancam diganjar hukuman penjara lima tahun karena dituding mencuri sandal seorang anggota Polisi. Padahal, harga sandal itu tidak lebih dari Rp35 ribu.

Kisah serupa juga terjadi tahun 2009 lalu. Mbok Minah, seorang nenek berusia 50-an tahun di Banyumas, Jawa Tengah, juga harus rela dipenjara lantaran dituding mencuri tiga biji kakao.

Sekarang, kita coba tengok bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.

Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.

Absennya keadilan juga dirasakan para pencari keadilan di lembaga-lembaga politik: pemerintah dan parlemen. Ada banyak rakyat yang mengadu, karena hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang oleh pemilik modal, tapi terkadang diabaikan dan tidak digubris oleh pemerintah.

Lihatlah para petani Pulau Padang di depan DPR. Mereka sudah berminggu-minggu bertahan di tempat tersebut. Tetapi, sampai sekarang, mereka belum mendapat kepastian mengenai tuntutan mereka: apakah dipenuhi atau (kembali) diabaikan oleh pemangku kebijakan.

Coba bayangkan jika yang datang ke DPR adalah delegasi pengusaha. Tentu, tanpa harus menunggu lama, apalagi sampai menginap, mereka akan mendapat jawaban memuaskan dari anggota dewan terhormat. Bahkan, jika saku anggota dewan itu diselipi amplop, maka hasilnya pun tambah memuaskan.

Absennya keadilan tak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Mana mungkin sebuah sistem yang menopang diri dari logika mencari untung (profit) bisa berbicara “keadilan untuk semua”. Mana mungkin sebuah sistem yang telah melahirkan kesenjangan, dan sengaja memelihara kesenjangan itu, bisa berbicara soal “keadilan sosial”. Apalagi di jaman neoliberal seperti sekarang, yang oleh banyak intelektual digelari sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangan”.

Ini adalah jaman tanpa ideologi. Proses penyelenggaraan negara ini pun tidak punya pijakan ideologi dan politik. Jadi, jangankan berbicara soal sistim hukum yang adil, bicara arah masa depan bangsa kita tak punya pijakan.

Belum lagi, proses perekrutan penegak hukum di Indonesia juga bermasalah. Sudah jadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi seorang hakim, jaksa, maupun polisi, anda harus siap-siap menyogok sana-sini. Reformasi pun belum berhasil menyapu bersih praktek koruptif, kolutif, dan nepotisme dalam institusi-institusi tersebut

Dan, lagi-lagi jika ditanya apa solusinya? Kami hanya bisa menjawab: kita harus melakukan perombakan radikal di segala bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain-lain. Mungkin, inilah yang disebut revolusi.

Kamis, 29 Desember 2011

Mendesak, Pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria



Penghujung tahun 2011 ditutup dengan meletusnya sejumlah kasus agraria di Indonesia. Ibarat letusan gunung es, berbagai kasus itu menyingkap betapa buruknya tata-kelola agraria nasional. Kita pun menjadi tahu mengapa berbagai konflik agraria itu bisa muncul dan tak kunjung selesai.
Ada satu hal yang tak bisa diabaikan di sini: tata kelola agrari kita, termasuk pengelolaan sumber daya alam di atas dan yang terkandum di dalamnya, masih sangat berwatak kolonial. Pemerintah kita, seperti juga pemerintah kolonial di masa lalu, sangat memprioritaskan modal swasta dalam pemanfaatan tanah dan eksploitasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Di sini, pemerintah terlihat begitu gampang menerbitkan surat ijin eksplorasi/eksploitasi kepada pihak pengusaha swasta, sementara hak-hak rakyat sangat diabaikan. Terkadang, karena tanah tersebut sudah lama dikuasai oleh rakyat, pemerintah menggunakan manipulasi legalitas untuk mengusir rakyat dari lahan-lahan dan pemukiman mereka. Bahkan, jika terjadi perlawanan dari pihak rakyat, maka penggunaan apparatus kekerasanlah sebagai solusinya.
Dalam konstitusi kita, UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (3) disebutkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini kemudian diturunkan dalam UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang menjamin akses seluruh rakyat terkait pemilikan tanah.
Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
Sayang, selama 51 tahun berlalu, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Bahkan, sejak jaman orde baru hingga sekarang, banyak sekali ketentuan produk pemerintah yang menabrak ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Sebut saja UU nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan; pada prakteknya, ketentuan ini menjadi pintu dibolehkannya pemodal swasta mengusai dan mengeksploitasi hutan. Ketentuan ini diperbaharui dan makin diper-liberal dengan keluarnya UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Sejak reformasi hingga sekarang, keluar begitu banyak UU yang makin mempermudah pemodal, baik swasta nasional maupun asing, untuk menguasai tanah dan mengeksploitasi sumber daya alam di atasnya. Sebut saja UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Di dalamnya, ada ketentuan pengusaha pertambangan mendapatkan ijin usaha pertambangan melalui bupati atau kepala daerah setempat.
Ini kian diperparah dengan pemberlakuan otonomi daerah. Proyek “otoda” telah menjadi papan seluncur pengusaha pertambangan untuk mendapatkan ijin pertambangan dengan menyogok kepala daerah korup. Inilah yang terjadi di kecamatan Lambu, Bima, dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Dapat disimpulkan: tata-kelola agraria yang berwatak kolonial dilegalisir oleh UU dan kebijakan hukum pemerintah. Meskipun hampir seluruh UU itu bertabrakan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
Dengan demikian, atas nama UU berbau kolonialis itu, pemerintah seolah punya legitimasi hukum untuk mengusir rakyat dari tanah dan sumber-sumber penghidupannya. Dan, dalam proses penyelesaian konflik agraria, instansi pemerintah (BPN, Menteri Kehutanan, DPR, dll) merujuk kepada UU pro kolonialis itu.
Dapat disimpulkan: keberadaan BPN, Pemerintah Daerah, Menteri terkait, bahkan Presiden sulit diharapkan bisa menyelesaikan konflik agraria. Penyebabnya, institusi negara itu berpegang teguh pada azas umum tata-kelola agraria yang pro-kolonial. Maka, jangan heran, institusi pemerintah selalu berpihak kepada pengusaha dan memilih berlawanan dengan rakyat.
Menurut kami, penyelesaian konflik agraria tidak bisa lagi disandarkan kepada institusi pemerintah yang ada saat ini. Bagi kami, kita perlu membentuk sebuah panitia khusus untuk menyelesaikan persoalan agraria ini: Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.
Tugas pokok panitia ini adalah menyelesaikan berbagai konflik agraria di daerah dengan berpatokan kepada Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Panitia ini harus melibatkan partisipasi rakyat, khususnya organisasi-organisasi petani dan organisasi rakyat lainnya. Keanggotan panitia ini bisa meliputi: pemerintah, tim ahli hukum/akademisi, dan organisasi petani.
Pendekatan utama penyelesaian agraria melalui kepanitiaan ini adalah dialog. Dengan demikian, TNI/Polri tidak diperkenankan lagi terlibat dalam konflik agraria. Penggunaan kepolisian hanya dimungkinkan jika ada pihak yang menolak melaksanakan keputusan panitia nasional.
Cukup sudah darah rakyat yang tertumpah karena konflik agraria. Cukup sudah tanah rakyat dirampas oleh pemilik modal. Cukup sudah penggusuran rakyat karena konflik agrarian. Sudah saatnya kita konsisten dengan UUD 1945 dan UUPA: Tanah untuk rakyat, bukan sebagai alat penghisapan!

Kamis, 22 Desember 2011

Semangat Hari Ibu



83 tahun yang lalu, tepatnya 22 Desember 1928, ribuan lebih perempuan berkumpul di Jogjakarta. Para perempuan, mewakili 30 lebih organisasi dari berbagai daerah, merumuskan cita-cita dan kewajiban kaum perempuan dalam perjuangan anti-kolonial.

Melihat kongres perempuan itu, kita tidak bisa melihatnya terpisah dengan sejarah panjang perjuangan anti-kolonial Indonesia, khususnya sumpah pemuda. Kongres perempuan I hanya terpisah dua bulan dari Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda juga sangat mewarnai semangat Kongres Perempuan. Kongres itu telah menjadi tonggak bersatunya kaum perempuan dalam perjuangan anti-kolonial dan perjuangan pembebasan perempuan.

Bung Karno, yang berusaha mengapresiasi momen kongres itu, tidak menyembunyikan harapannya agar kaum perempuan mengambil peran dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Soekarno-mengutip pejuang wanita India, Sarojini Naidu, menyampaikan keharusan perempuan berada di gerbang maut untuk membuat bangsa.

Pada tahun 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit yang menjadikan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Soekarno sendiri sejak awal menyebut kongres perempuan itu sebagai “Kongres Ibu”. Tetapi, sejak orde baru hingga sekarang, sejarah kongres perempuan menghilang dari makna “Hari Ibu”.

Sekarang, setelah 83 tahun peristiwa berlalu, kondisi perempuan Indonesia tidak berbeda jauh dengan jaman kolonial. Neoliberalisme telah menjauhkan mayoritas perempuan dari akses kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, perumahan layak, dan lain-lain.

Situasi itu kian diperparah oleh kenyataan sosial bahwa soal-soal domestik adalah masih dianggap tanggung-jawab kaum perempuan. Akibatnya, ketika neoliberalisme menindas kesejahteraan rakyat, maka perempuan-lah korban pertama. Misalnya, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, maka perempuan-lah yang paling pusing tujuh-keliling untuk memastikan “dapur” keluarga tetap mengepul.

Begitu juga dengan kebijakan privatisasi. Privatisasi tidak sekedar soal swastanisasi, tetapi juga soal pelepasan tanggung-jawab negara terhadap hak-hak dasar rakyat,–atau juga bisa dimaknai, domestifikasi urusan-urusan dan tanggung-jawab negara.

Kebijakan privatisasi sektor kesehatan, misalnya, dimana negara tak lagi bertanggung-jawab atas kesehatan rakyat, tetapi jatuh ke tangan masing-masing rumah tangga rakyat. Karena perempuan masih dibebani fungsi domestik itu, maka perempuan-lah yang harus memanggul tugas-tugas menjamin kesehatan keluarga itu.

Jika kita cermati: sebagian besar kasus bunuh diri karena motif ekonomi itu dilakukan oleh kaum perempuan (ibu rumah tangga). Sebab, kaum perempuan-lah yang berkontradiksi langsung dengan serangan-serangan neoliberal. Dalam banyak kasus, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga dipicu oleh persoalan-persoalan domestik (merawat dan melayani) yang dianggap tanggung-jawab kaum perempuan.

Dengan kerja domestik yang kian menumpuk, ditambah lagi tekanan langsung oleh neoliberalisme, kaum perempuan pun makin dikeluarkan dari ruang-ruang sosial dan politik kemasyarakatan. Sebagian besar perempuan kalangan bawah pun makin tergusur dari kehidupan politik.

Karena itu, sudah jelas bagi kami, bahwa kaum perempuan mesti berada di barisan terdepan dalam perjuangan anti-neoliberalisme. Kami juga beranggapan bahwa pengorganisasian gerakan perempuan mesti dibasiskan pada persoalan-persoalan kesejateraan yang dihubungkan dengan anti-neoliberalisme.

Karena itu, makin jelas pula, bahwa semangat kongres perempuan tahun 1928 sangat relevan untuk membangkitkan gerakan perempuan saat ini. Dan, pada gilirannya, gerakan perempuan harus menyatukan diri dengan sektor-sektor lain yang menjadi korban neoliberal untuk membangun perlawanan.

Minggu, 18 Desember 2011

Sosok Chavez Dijadikan Hiasan Natal di Venezuela



Tidak lama lagi, umat Kristiani akan merayakan Hari Raya Natal atau Hari Kelahiran Yesus . Tema natal pun mulai dijadikan hiasan di tempat-tempat umum. Demikian juga di Venezuela, negeri yang mayoritas rakyatnya beragama Nasrani. Mereka menjadikan Chavez sebagai salah satu ikon natal.

Dalam model bertema “kelahiran Yesus”, Chavez berdiri di depan palungan bayi Yesus dan menggantikan peran para gembala domba, yang dalam Alkitab diceritakan sebagai orang yang memberikan hunian bagi sang juru selamat umat Kristen yang baru lahir tersebut. Di belakang Hugo Chavez, berdiri miniatur tokoh idolanya, Simon Bolivar.

Sebagai penghargaan atas keberhasilan pembangunan infrastruktur di era Chavez, di dalam model yang ditempatkan di tengah pusat keramaian di kota Caracas tersebut, terdapat juga miniatur trem yang sedang mendekati replika pemukiman kumuh. Selain itu, terdapat replika Mission Barrio Adentro, sering disebut klinik komunitas, dan beberapa program sosial lainnya yang semuanya ditempatkan dibelakang palungan Yesus.

“Sama seperti dalam agama Kristen, revolusi itu dasarnya adalah cinta”, demikian kata Yasmina Ereu, yang juga terlibat membuat model tersebut.

Chavez sering dituding penganut filsafat sinkretisme, dengan memadukan Marx dan Yesus-kadang-kadang dalam pidatonya—sementara juga terus menerus membangkitkan semangat tokoh pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar.

Dalam kondisi politik yang kian terpolarisasi menjelang pemilu, barangkali hal tersebut tidak disukai oleh para lawan politik Chavez dan pendukung mereka. Namun, para pendukung Chavez dan pembuat hiasan natal tersebut mengaggap bahwa itu merupakan cara mereka menunjukkan penghargaan yang tulus terhadap Chavez dan capaian Revolusi Bolivarian.

Maria Mijares, seorang pegawai Kementerian Perempuan yang juga merupakan salah satu pembuat hiasan tersebut, mengatakan bahwa mereka sengaja membuat model seperti itu oleh karena sebagian besar media di Venezuela sengaja tidak mengkampanyekan keberhasilan dan capian revolusi di bawah Chavez.

Tidak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah toko pernak-pernik natal yang terletak dalam wilayah bekas Hilton Hotel yang telah dinasionalisasi oleh Chavez beberapa tahun silam. Toko tersebut menyediakan baju, boneka, gelas, dan mangkuk serta sejumlah barang lain bernuansa natal yang dihiasi dengan wajah Chavez.

“80% rakyat Venezuela bersamanya. Proses ini tidak akan berhenti,” kata pedagang pernak-pernik itu, Carlos Bonilla, yang menjual cangkir bergambar Chavez seharga 40 bolivars ($9,30).

Masihkah Kita Negara Pancasila?



Pada tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno mempidatokan Pancasila, ia sedang membayangkan “Weltanschauung”, sebuah pandangan hidup yang menjiwai setiap manusia Indonesia. Dengan itu pandangan dunia itu, Soekarno berharap perjalanan bangsanya menuju cita-cita nasionalnya punya pedoman.

Sebagai pandangan hidup, Pancasila tentu letaknya dalam jiwa dan fikiran bangsa Indonesia. Ia akan manifes dalam bentuk sikap (keberpihakan) dan tindakan. Filsafat nasional itu akan selalu memilih sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang sejalan dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia: masyarakat adil dan makmur.

Tetapi apa yang terjadi sekarang ini? Pancasila, sejak jaman orde baru hingga sekarang ini, tidak terserap sebagai pandangan hidup. Sebaliknya, sejak orde baru pula, Pancasila telah menjadi “benda keramat” layaknya benda peninggalan sejarah di museum. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara sebatas pemasangan gambar atau replika garuda Pancasila.

Pancasila tak lagi menjadi weltanschauung bangsa Indonesia. Pancasila punya lima prinsip dasar: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme,– atau perikemanusiaan; Mufakat, – atau demokrasi; Kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kelima prinsip dasar itu, adakah yang masih dijalankan oleh penyelenggara negara?

Kita bicara soal kebangsaan Indonesia. Jika kita mengacu kepada Otto Bauer, orang Austria yang sering menjadi acuan Soekarno, kebangsaan didefenisikan sebagai satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Dulu, persatuan nasib itu didasarkan pada semangat melawan penjajahan.

Tapi sekarang, masihkan ada basis persatuan nasib itu? Basis untuk persatuan nasib itu makin tipis sekarang. Sejak orde baru hingga sekarang, proyek pembangunan hanya menciptakan ketimpangan: ketimpangan pembangunan antar daerah dan ketimpangan sosial diantara rakyat Indonesia sendiri.

Dalam banyak kasus, ketimpangan itu telah memicu ketidakpuasan, bahkan kehendak pemisahan dari negara Indonesia. Hal itu makin menguat ketika pemerintah berkuasa merespon ketidakpuasan itu dengan pendekatan militer.

Begitu pula dengan sila peri-kemanusiaan. Azas-azas kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia makin tergerus oleh liberalisme dan kapitalisme. Relasi sosial antar manusia tidak lagi diperantarai oleh kerjasama dan solidaritas, melainkan oleh logika mencari keuntungan dan rivalitas.

Harga-diri manusia Indonesia juga tidak sama dihadapan negara: negara memperlakukan sangat istimewa segelintir pemilik modal dan kaum elit, tetapi mengabaikan mayoritas yang miskin. Ini sangat tercemin dalam penyelenggaraan hukum yang sangat memihak kaum kaya dan kalangan elit.

Tragedi Mesuji baru-baru ini adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap pancasila. Aparatus negara, yakni TNI/Polri, yang mestinya melindungi rakyat, justru menjadi alat perusahaan untuk membantai kaum tani.

Prinsip demokrasi-mufakat juga sudah hampir terkubur. Praktisnya, hampir seluruh kebijakan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di negeri ini diputuskan oleh segelintir elit berkuasa. Sementara mayoritas rakyat Indonesia telah dilemparkan keluar dari ruang-ruang pengambilan kebijakan. Akibatnya, ada banyak sekali kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, seperti privatisasi, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain.

Nasib sila kesejahteraan/keadilan sosial justru lebih parah lagi. Sila ini bahkan tidak pernah terwujud dalam sejarah berbangsa dan bernegara kita. Ironisnya lagi, penyelenggara negara justru memilih sistim ekonomi-politik yang melahirkan ketidakadilan sosial: kapitalisme.

Sumber-sumber ekonomi, khususnya sumber daya alam, telah dikuasai oleh segelintir kapitalis asing dan swasta nasional. Ini terjadi lantaran pemerintah kembali mengadopsi kebijakan ekonomi berbau kolonial: neoliberalisme.

Para pendiri bangsa kita mewariskan pasal 33 UUD 1945 sebagai sistim perekonomian yang cocok untuk mendatangkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi, sejak orde baru hingga sekarang, pasal 33 UUD 1945 tidak pernah dijalankan oleh rejim-rejim berkuasa.

Terakhir, sila Ketuhanan Yang Maha Esa pun hampir tidak berjalan dengan baik. Kita belum lupa bagaimana pendukung Ahmadiyah dirampas kemerdekaan dan kebebasannya menjalankan ibadah oleh kelompok fanatik tertentu. Sampai sekarang, Jemaah HKBP di Bogor belum bisa beribadah dengan tenang karena tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah setempat.

Pancasila, yang digali para pendiri bangsa dari bumi pertiwi, tidak lagi menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Ironisnya: penyelewengan terhadap Pancasila justru dimulai oleh para penyelenggara negara. Penyelenggara negara kita justru mewarisi pandangan hidup jaman kolonial: keberpihakan kepada pemilik modal, pengabdian kepada keserakahan, menjunjung tinggi korupsi, dan pengagungan terhadap praktek kekerasan dan diskriminasi.

Kamis, 15 Desember 2011

Tragedi Mesuji Dan Momentum Penegakan UUPA 1960



Satu lagi kejadian memilukan bangsa terungkap: tragedi Mesuji. Ada 30 orang petani tewas terbunuh saat mempertanahkan lahan di Mesuji, Tulang Bawang, Lampung. Mereka dibunuh oleh PAM Swakarsa, yang dibekingi oleh aparat keamanan, atas perintah PT Silva Inhutani.

Kejadian itu bermula saat PT Silva Inhutani mendapat ijin membuka lahan untuk menanam kelapa sawit dan karet di Mesuji. Akan tetapi, areal konsensi perusahaan asal Malaysia itu jelas menyerobot lahan milik petani.

Petani pun melakukan perlawanan. Mereka tidak rela tanah warisan leluhurnya dicaplok begitu saja oleh perusahaan asing. Namun, berhadapan dengan perlawanan yang cukup keras dari petani, pihak perusahaan pun membentuk Pam Swakarsa. Konon, Pam Swakarsa ini dibekingi oleh pihak kepolisian.

Tragedi Mesuji adalah sekian dari begitu banyak kasus agraria di Indonesia yang mengorbankan para petani. Kejadian serupa juga terjadi di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain.

Ini juga menjelaskan bahwa sistim kepemilikan tanah ala kolonial masih berlaku. Tanah yang dimiliki oleh rakyat, sudah ditempati selama puluhan tahun secara turun-temurun, bisa dirampas begitu saja oleh perusahaan swasta. Ironisnya, proses perampasan tanah rakyat itu dilegitimasi oleh pemerintah.

Pada tahun 1960, Indonesia sebenarnya sudah punya konsep agrarian yang progressif dan berpihak kepada rakyat. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

UUPA 1960, yang merupakan turunan pasal 33 UUD 1945, menjamin kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Jika UUPA 1960 dilaksanakan, maka kejadian-kejadian seperti Mesuji tidak boleh terjadi. Indonesia juga tidak perlu mengadopsi hukum agraria kolonial seperti sekarang.

Akan tetapi, sejak diberlakukan hingga sekarang, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Di masa orde baru, UUPA 1960 dihujat sebagai sistem agrarian yang berbau komunis. Lalu, oleh rejim orde baru sendiri, dibuatlah UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. UU itu membuka kembali pintu kolonialisme dalam tata-kelola agraria di Indonesia.

Lalu, pada masa reformasi, UUPA 1960 makin jauh dari implementasi. Sekarang ini, sistematika perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal UU pokok. Semua UU dianggap sejajar. Dengan begitu, banyak sekali UU di bidang agraria (termasuk kehutanan) yang bertolak belakang dengan semangat UUPA.

Jika kita berbicara sebagai negara hukum, maka jelas pemerintahan sejak Soeharto hingga sekarang adalah inkonstitusional. Mereka telah membuat UU dan seperangkat kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka juga telah menghianati cita-cita proklamasi.

Karena itu, juga bercermin dari tragedi Mesuji, kita menganggap sudah saatnya menegakkan UUPA 1960. Semua konflik agraria di Indonesia harus diselesaikan dalam kerangka UUPA 1960. Perspektif pembangunan ekonomi pertanian Indonesia juga harus mengacu pada UUPA 1960.

Jumat, 09 Desember 2011

Pesan Dari “Aksi Bakar Diri Di Depan Istana”



Saya langsung teringat dengan Mohammed Bouazizi di Tunisia dan Chun Tae il di Korea Selatan. Keduanya telah menjadi martir, mungkin juga pemantik, bagi kebangkitan gerakan rakyat di negaranya. Mereka adalah ekspresi dari sebuah kemarahan yang terpendam.

Mungkin itu juga yang ada dalam benak pria yang membakar diri di depan istana negara, kemarin (7/12). Si pria pemberani ini membawa sebuah pesan: ia tidak tahan lagi melihat keadaan yang kian memburuk dan menuntut pemerintah segera bertindak. Hanya saja, Chun Tae Il, aktivis buruh korea itu, membawa pesannya cukup jelas: ia mengalungkan poster “WTO membunuh petani” sesaat sebelum membakar diri.

Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan istana negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rejim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: SBY-Budiono. Dengan demikian, motif protes dari pria malang ini pun bisa ditebak: ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono.

Ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono sedang meningkat. Lembaga survei juga memperlihatkan bagaimana tingkat kepuasan massa-rakyat terhadap rejim SBY-Budiono makin menurun. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.

Ketidakpuasan ini sudah sering menimbulkan tindakan ekstrim. Di Sleman, Yogyakarta, seorang ibu rela membakar diri bersama dua orang anaknya. Diduga, sang ibu depresi memikirkan utangnya sebesar Rp20 ribu. Di desa Putat, Cirebon, Jawa Barat, seorang ibu juga rela membakar diri bersama dua anaknya. Motifnya juga sama: himpitan ekonomi yang membuat ibu-rumah tangga ini pusing tujuh keliling.

Rata-rata angka bunuh diri di Indonesia dilaporkan mencapai 1,6-1,8 per 100 ribu penduduk. Artinya, jika data itu benar, berarti untuk Jakarta saja terjadi 160 kasus bunuh diri per tahun atau sekitar 10 kejadian bunuh diri per bulan. Aksi bunuh diri ini sebagian besar bermotifkan ekonomi. Sebagian besar pelakunya juga perempuan. Kenapa perempuan? Karena perempuan masih tersandera oleh peran domestik, maka mereka lah yang berhadapan langsung dengan krisis ekonomi, seperti kenaikan harga sembako, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Ironisnya, kesengsaraan hidup yang dirasakan oleh mayoritas rakyat ini sangat kontras dengan kehidupan pejabat dan segelintir kaum kaya di Indonesia. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat kesenjangan sosial paling parah di Asia tenggara, mungkin juga dunia.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Selain itu, dengan merujuk pada catatan majalah Forbes, selama 5 tahun terakhir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia naik rata-rata 80% per-tahun. Lebih jauh lagi, diketahui bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu, hampir setara dengan akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci—“momen krisis”. Ini adalah momen dimana rakyat mulai tidak puas dengan kinerja para pejabat di pemerintahan. Mereka juga mulai yakin bahwa pemerintah akan sulit menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang mendesak. Dalam banyak kasus, berbagai protes dan tuntutan rakyat seperti membentur tembok tinggi.

Dalam situasi begini, rakyat sebetulnya memerlukan sebuah alternatif yang sanggup menjawab kebutuhan mereka yang paling mendesak. Akan tetapi, alternatif tidak muncul dari seruan-seruan politik belaka. Sejarah memperlihatkan bahwa alternatif muncul ketika sebuah gerakan politik berhasil menemukan proposal bersama dan mengikat berbagai sektor sosial yang luas ke dalam satu tujuan bersama.

Senin, 05 Desember 2011

Menanti Akhir Retorika Presiden



Mendengarkan pidato Presiden SBY menyambut 17 Agustus, kita kembali disuguhkan klaim-klaim tentang keberhasilan dan rencana kebijakan yang jauh dengan kenyataan. Pidato tersebut memaparkan capaian-capaian yang telah diraih semenjak Reformasi; dimulai dengan capaian politik seperti kebebasan pers dan berpendapat, demokratisasi, desentralisasi, dan profesionalisme TNI.

Secara umum masa paska Reformasi digambarkannya sebagai suatu proses yang terus membaik. Namun bila ditilik lebih mendalam, periode ini terbagi menjadi beberapa masa jabatan presiden yang mana SBY menjabat terlama. Proses demokratisasi yang mendalam berlangsung pada masa pemerintahan Habibie dan Gus Dur yang menjabat sebelumnya. Pada masa SBY, demokrasi justru mengalami penurunan kredibilitas seiring merajalelanya politik uang dan hubungan balas-jasa (patron-klien). Menariknya, pidato SBY juga mengangkat keprihatinan terhadap politik berbiaya tinggi, padahal telah banyak diketahui bahwa Partai Demokrat yang menjadi kendaraan elektoralnya justru merupakan praktisi utama gaya berpolitik itu.

Memang harus diakui bahwa di masa SBY lah TNI tampil paling ‘jinak’. Namun terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa TNI telah “menjadi tentara profesional, tidak lagi berpolitik dan berbisnis”. Bagaimana ia bisa menyatakan itu ketika tim suksesnya dalam pemilu 2009, yang terkenal dengan “Operasi Senyap”-nya, bertaburan jendral-jendral yang menggerakkan jajaran angkatan bersenjata untuk memenangkan Partai Demokrat dan SBY?

Klaim tentang capaian ekonomi telah menjadi klise. Kokohnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat krisis finansial 2008 bukan disebabkan kebijakan pemerintah, melainkan sudah menjadi tren regional yang memang tidak terkena imbas besar tsunami finansial dari Wall Street.

Kredibilitas internasional, peringkat kredit, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa dan lain sebagainya telah berulangkali digunakan oleh pemerintah untuk meyakinkan bahwa kebijakan ekonomi sudah benar. Indikator-indikator ini memang bisa meyakinkan para investor dan kekuatan finansial asing bahwa pemerintah SBY berjalan pada rel yang mereka tetapkan – yakni dengan memangkas pembelanjaan sosial dan menekan defisit anggaran. Namun rakyat kebanyakan yang merasakan langsung kemerosotan standar hidup tentunya tidak begitu saja bersepakat.

Angka alokasi anggaran menunjukan bahwa anggaran subsidi dalam RAPBN 2011 mengalami penurunan besar dibandingkan APBN 2010, yakni sebesar 26,5 trilyun rupiah. Dibandingkan komponen anggaran lainnya, persentase penurunan komponen subsidi adalah terbesar; dari 3,2% terhadap PDB pada 2010 menjadi 2,6% terhadap PDB pada RAPBN 2011. Padahal anggaran subsidi ini merupakan faktor penting yang menunjukan komitmen pemerintah dalam meringankan beban ekonomi rakyat dan memakmurkannya.

Dengan kebijakan anggaran pemerintah seperti ini, susah rasanya untuk mempercayai bahwa pilar pertama di antara tiga pilar dalam pidato SBY – kesejahteraan, demokrasi dan keadilan – benar-benar akan ditegakkan olehnya. Apalagi meyakini bahwa ia sedang mengupayakan suatu pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job) dan lingkungan hidup (pro-environment). Pemotongan subsidi seperti listrik, BBM, gas, dsb. bukan saja memberatkan kehidupan rakyat tapi juga mencekik perindustrian atau sektor riil yang menyediakan lapangan kerja terbanyak. Pada akhirnya ketiga pro- tersebut hanya menjadi hiasan saja bagi kegandrungan pemerintah terhadap pro- yang satunya lagi: pro-pertumbuhan (ekonomi). Padahal angka pertumbuhan yang diterbitkan pemerintah lebih banyak menggambarkan pertumbuhan perusahaan besar termasuk asing.

Retorika seperti ini memang sudah menjadi santapan sehari-hari dari pemerintahan SBY. Sudah berapa banyak saja rakyat dikecewakan ketika menemui kenyataan bahwa klaim-klaim SBY seperti contohnya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi begitu jauh dari kenyataan di lapangan. Kasus-kasus korupsi masih marak dan menggila, sementara kasus besar dan serius seperti Bank Century justru terombang-ambing di tengah kesepakatan-kesepakatan elit politik di balik layar. Di institusi-institusi negara seperti kepolisian atau dirjen pajak, rakyat biasa yang tak punya hak istimewa masih begitu sering dipersulit dan diperas oleh birokrasi, sementara mereka yang mampu membayar atau berkedudukan penting dapat dengan mudah mendapat perlakuan-perlakuan istimewa.

Susah untuk tidak mempertanyakan sampai kapan kebohongan ini akan berakhir. Atau barangkali memang ada suatu upaya sistematis yang hendak menjadikan seribu kebohongan menjadi kebenaran.

Sabtu, 03 Desember 2011

Efektifkah “Kebun Koruptor”?



Sebuah ide dari guyonan, bahkan cenderung gila, bisa menjadi masuk akal di tengah kebuntuan. Begitulah ide ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengenai “kebun koruptor” tampak masuk akal. Ia bisa menjadi ide cemerlang di tengah kefrustasian akan keadaan.

Korupsi memang satu soal besar di negara kita. Bahkan, begitu tidak berdayanya pemerintah, juga lembaga-lembaga anti-korupsi, dalam menghadapi perilaku korup membuat orang hampir putus-asa. Korupsi berjalan terus..dan terus!

Muncur pertanyaan: apakah ide membuat “kebun koruptor” bisa dipraktekkan dan seberapa efektif ide itu bisa mengurangi perilaku koruptif?

Ide “kebun koruptor” memang sangat mungkin dipraktekkan. Ide mempermalukan koruptor sendiri sudah banyak diusulkan; mulai dari usulan baju khusus untuk koruptor, penjara khusus untuk koruptor, dan lain sebagainya.

Di negara lain, khususnya Tiongkok, ide mempermalukan koruptor juga terkadang dipakai, disamping model hukuman yang keras: hukuman mati. Di sana, katanya, koruptor diborgol tangan dan kakinya, serta menjalani kerja paksa yang ditayangkan oleh televisi nasional.

Seberapa efektif ide mempermalukan koruptor di negara kita? Menurut kami, seorang koruptor adalah manusia yang sudah hilang rasa malunya. Mereka sanggup melakukan tindakan korupsi karena merasa tidak malu terhadap masyarakat dan lingkungan sosialnya. Bahkan, ketika seorang koruptor sudah menjalani penjara atau hukuman, ia tidak akan merasa malu ketika kembali ke masyarakat.

Hukuman berat juga belum tentu efektif di negara kita. Ini hanya soal memberi efek jera kepada koruptor dan calon koruptor. Difikirnya, dengan memberi efek jera seperti itu, orang akan berfikir dua kali untuk melakukan tindakan serupa.

Akan tetapi, bagi kami, hal semacam itu belum tentu efektif di Indonesia: negara yang sistim ekonomi dan politiknya sangat membuka celah bagi korupsi. Proses penegakan hukum di Indonesia juga sangat gampang “terbeli”. Jadi, metode mempermalukan dan menghukum berat koruptor belum tentu efektif.

Justru, bagi kami, pemberantasan korupsi di Indonesia mesti juga bersifat sistemik. Artinya, gerakan memberantas korupsi harus melekat dengan perjuangan untuk mengubah sistim ekonomi dan politik yang korup ini. Selama ekonomi nasional kita belum produktif, maka korupsi sebagai penyakit tentu akan terus-menerus tumbuh dan berkembang.

Sistim politik kita juga sangat rentan dengan korupsi. Selain terlalu birokratis, sistim politik kita juga sangat jauh dari kontrol dan partisipasi rakyat. Sistim politik kita memungkinkan kontrol terhadap sumber daya dan kekayaan publik tersentralisasi di tangan segelintir elit/pejabat politik. Hal itu menyebabkan jabatan politik menjadi ‘surga abadi” bagi para koruptor.

Untuk itu, jika hendak memerangi korupsi, maka sistim ekonomi dan politik ini perlu dirombak total. Ekonomi nasional yang tidak produktif, karena dikangkangi oleh imperialisme dan segelintir swasta nasional, menyebabkan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir orang. Ekonomi nasional yang tidak produktif ini juga tidak menyediakan basis akumulasi yang produktif pula.

Selain itu, sistim kapitalisme juga mengajarkan korupsi secara inheren: kapitalisme adalah sistim yang tumbuh karena pencurian nilai lebih, karena perampasan hasil kerja dan keringat manusia yang bekerja, dan perampasan kemakmuran bangsa lain. Kapitalisme juga mengajarkan fetitisme terhadap uang dan kekayaan.

Karena itu, bagi kami, hanya dengan menghapuskan imperialisme dan kapitalismelah yang membuka jalan untuk pemberantasan korupsi yang sejati. Dan, hanya dengan kekuasaan politik yang ditransfer ke rakyatlah yang membuat sistim politik makin sehat dan menjauh dari praktek korupsi.

Kalau proses politik dikontrol dan dijalankan langsung oleh rakyat, termasuk perumusan kebijakan dan penentuan alokasi sumber daya, maka korupsi bisa dikurangi hingga tingkat yang paling rendah.

Jumat, 02 Desember 2011

Kita Butuh Pemimpin Penggerak Rakyat



Indonesia masa kini sedang krisis kepemimpinan. Pemimpin sekarang punya banyak kelemahan: terlalu mengalah kepada kepentingan asing, tidak sanggup menjaga kepentingan nasional, tidak mampu menggerakkan rakyat, dan kurang cakap dalam mengelola pemerintahan.
Dulu, pada tahun 1950, Herbert Feith, penulis buku “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962)”, membagi dua tipe pemimpin Indonesia: administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa).
Kategori administrator adalah orang yang memiliki kemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan kecakapan bahasa asing yang diperlukan untuk menjalankan negara modern. Sedangkan tipe solidarity maker adalah mereka yang memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa.
Kita akan membahas tipe kedua, yaitu solidarity maker. Feith sendiri kurang setuju dengan tipe solidarity-maker ini, karena dianggapnya hanya pandai memberikan harapan yang muluk tentang masa depan Indonesia, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. Tetapi, bagi kami, tipe pemimpin solidarity-maker justru sangat dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini: kita terkotak-kotak dalam berbagai partai yang berorientasi sempit; rakyat kita teratomisasi menjadi individu tanpa orientasi kolektif; sementara kita terjajah oleh imperialisme.
Kita membutuhkan pemimpin yang bisa menggerakkan rakyat. Bagi Bung Karno, seorang pemimpin harus bisa menggerakkan rakyatnya untuk mencapai cita-cita nasional yang sudah dirumuskan. Ini semacam “leistar” yang menggerakkan rakyat menuju cita-cita masyarakat masa depan.
Bung Karno sendiri menyebut tiga syarat yang mesti dipunyai seorang pemimpin agar bisa menggerakkan rakyat: pertama, pemimpin harus bisa melukiskan cita-citanya kepada rakyat banyak. Kedua, pemimpin harus bisa membangunkan (menyakinkan) rakyat bahwa mereka mampu. Ketiga, setelah membangkitkan rasa mampu dari rakyat, seorang pemimpin harus mengetahui cara mengorganisir rakyat itu.
SBY sendiri masuk kategori pemimpin salon. Ia tidak punya kemampuan untuk menggerakkan massa rakyat. Banyak seruan-seruannya tidak diikuti oleh rakyat, bahkan terkadang dilawan oleh rakyat. Pasalnya, banyak seruan-seruan politiknya bertentangan dengan keinginan rakyat.
Jangankan pandai melukiskan cita-cita kepada rakyat banyak, SBY justru mengalah kepada kepentingan asing dan membiarkan cita-cita nasional kita tenggelam akibat amukan badai neoliberalisme. SBY pun gagal memperjuangkan kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat.
Banyak seruan-seruan SBY juga bertolak-belakang antara ucapan dan tindakan. Sebagai contoh, ketika sedang berkampanye besar-besaran melawan korupsi, ia justru tidak punya itikad politik untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan anggota partai dan menteri di dalam kabinetnya.
Cita-cita nasional bangsa Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur. Dulu, ketika Republik baru berdiri, rakyat Indonesia rela berkorban jiwa dan raga untuk memperjuangkan cita-cita itu. Sekarang, seiring dengan seringnya para pemimpin melupakan dan menghianati rakyatnya, rakyat pun seperti kehilangan asa dan harapan.
Dalam situasi sekarang ini, dimana penjajahan telah begitu menghisap bangsa kita, seorang pemimpin bertipe penggerak massa rakyat sangat diperlukan. Kita butuh seorang pemimpin yang pandai melukiskan cita-cita masa depan. Tetapi bukan cita-cita yang muluk-muluk, melainkan cita-cita yang lahir dari analisa dan tuntutan sejarah perkembangan masyarakat. Sejumlah bangsa di Amerika Latin, seperti Venezuela dan Bolivia, sedang merintis jalan cita-cita semacam itu. Lalu, kalau rakyat Bolivia dan Venezuela bisa melakukanya, kenapa kita tidak!