Jumat, 09 Desember 2011

Pesan Dari “Aksi Bakar Diri Di Depan Istana”



Saya langsung teringat dengan Mohammed Bouazizi di Tunisia dan Chun Tae il di Korea Selatan. Keduanya telah menjadi martir, mungkin juga pemantik, bagi kebangkitan gerakan rakyat di negaranya. Mereka adalah ekspresi dari sebuah kemarahan yang terpendam.

Mungkin itu juga yang ada dalam benak pria yang membakar diri di depan istana negara, kemarin (7/12). Si pria pemberani ini membawa sebuah pesan: ia tidak tahan lagi melihat keadaan yang kian memburuk dan menuntut pemerintah segera bertindak. Hanya saja, Chun Tae Il, aktivis buruh korea itu, membawa pesannya cukup jelas: ia mengalungkan poster “WTO membunuh petani” sesaat sebelum membakar diri.

Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan istana negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rejim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: SBY-Budiono. Dengan demikian, motif protes dari pria malang ini pun bisa ditebak: ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono.

Ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono sedang meningkat. Lembaga survei juga memperlihatkan bagaimana tingkat kepuasan massa-rakyat terhadap rejim SBY-Budiono makin menurun. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.

Ketidakpuasan ini sudah sering menimbulkan tindakan ekstrim. Di Sleman, Yogyakarta, seorang ibu rela membakar diri bersama dua orang anaknya. Diduga, sang ibu depresi memikirkan utangnya sebesar Rp20 ribu. Di desa Putat, Cirebon, Jawa Barat, seorang ibu juga rela membakar diri bersama dua anaknya. Motifnya juga sama: himpitan ekonomi yang membuat ibu-rumah tangga ini pusing tujuh keliling.

Rata-rata angka bunuh diri di Indonesia dilaporkan mencapai 1,6-1,8 per 100 ribu penduduk. Artinya, jika data itu benar, berarti untuk Jakarta saja terjadi 160 kasus bunuh diri per tahun atau sekitar 10 kejadian bunuh diri per bulan. Aksi bunuh diri ini sebagian besar bermotifkan ekonomi. Sebagian besar pelakunya juga perempuan. Kenapa perempuan? Karena perempuan masih tersandera oleh peran domestik, maka mereka lah yang berhadapan langsung dengan krisis ekonomi, seperti kenaikan harga sembako, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Ironisnya, kesengsaraan hidup yang dirasakan oleh mayoritas rakyat ini sangat kontras dengan kehidupan pejabat dan segelintir kaum kaya di Indonesia. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat kesenjangan sosial paling parah di Asia tenggara, mungkin juga dunia.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Selain itu, dengan merujuk pada catatan majalah Forbes, selama 5 tahun terakhir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia naik rata-rata 80% per-tahun. Lebih jauh lagi, diketahui bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu, hampir setara dengan akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang.

Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci—“momen krisis”. Ini adalah momen dimana rakyat mulai tidak puas dengan kinerja para pejabat di pemerintahan. Mereka juga mulai yakin bahwa pemerintah akan sulit menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang mendesak. Dalam banyak kasus, berbagai protes dan tuntutan rakyat seperti membentur tembok tinggi.

Dalam situasi begini, rakyat sebetulnya memerlukan sebuah alternatif yang sanggup menjawab kebutuhan mereka yang paling mendesak. Akan tetapi, alternatif tidak muncul dari seruan-seruan politik belaka. Sejarah memperlihatkan bahwa alternatif muncul ketika sebuah gerakan politik berhasil menemukan proposal bersama dan mengikat berbagai sektor sosial yang luas ke dalam satu tujuan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar