Kamis, 19 Januari 2012
VISI DAN MISI GERINDRA
Berikut ini merupakan program aksi yang telah kami sosialisaikan melalui media massa di seluruh Indonesia. Inilah komitmen nyata kami untuk membangun negeri dengan rangkaian kebijakan, bukan rangkaian janji.
MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA RAYA
8 PROGRAM AKSI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT
1. Menjadwalkan Kembali Pembayaran Utang Luar Negeri
• Mengalihkan dana pembayaran utang luar negeri sebagai modal penyertaan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, pangan dan energi, yang murah serta ramah lingkungan.
2. Menyelamatkan Kekayaan Negara untuk Menghilangkan Kemiskinan
• Menjadikan BUMN sebagai lokomotif dan ujung tombak kebangkitan ekonomi.
• Menghentikan penjualan aset negara yang strategis dan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak.
• Meninjau kembali semua kontrak pemerintah yang merugikan kepentingan nasional.
• Mewajibkan eksportir nasional yang menikmati fasilitas kredit dari negara untuk menyimpan dana hasil ekspornya di bank dalam negeri.
• Membangun industri pengolahan untuk memperoleh nilai tambah.
3. Melaksanakan Ekonomi Kerakyatan
• Mencetak 2 juta Ha lahan baru untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, tebu yang dapat mempekerjakan 12 juta orang.
• Mencetak 4 juta Ha lahan untuk aren (bahan baku bio ethanol) yang dapat mempekerjakan 24 juta orang.
• Membangun pabrik pupuk Urea dan NPK dengan total kapasitas 4 juta ton.
• Memperbesar permodalan lembaga keuangan mikro untuk menyalurkan kredit bagi rakyat kecil.
• Membangun sarana transportasi massal.
• Modernisasi pasar tradisional untuk pedagang kecil.
• Meningkatkan pendapatan per kapita dari USD 2000 menuju USD 4000.
4. Delapan Program Desa
• Listrik desa
• Bank dan lembaga keuangan desa
• Koperasi desa, lumbung desa, pasar desa
• Air bersih desa
• Klinik desa
• Pendidikan desa
• Infrastruktur pedesaan dan daerah pesisir
• Rumah sehat pedesaan
5. Memperkuat Sektor Usaha Kecil
• Prioritas penyaluran kredit perbankan kepada petani, nelayan dan pedagang kecil.
• Melarang penyaluran kredit bank pemerintah untuk pembangunan perumahan dan apartemen mewah, mall, serta proyek-proyek mewah lainnya.
• Melindungi pedagang pasar trasdisional dengan melarang pembangunan pasar swalayan berskala besar yang tidak sesuai undang-undang.
• Melindungi dan memperjuangkan hak-hak buruh migran (TKI).
6. Kemandirian Energi
• Membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi dan air (10.000 MW).
• Menyediakan sumber energi dengan mendirikan kilang-kilang minyak, pabrik bio ethanol dan pabrik DME (Pengganti LPG).
• Membuka 2 juta hingga 4 juta Ha hutan aren - dengan sistem tanam tumpangsari - untuk produksi bahan bakar ethanol, sebagai pengganti BBM impor. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekpor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam (4 juta Ha hutan aren menghasilkan sekitar 56 juta mt ethanol/tahun).
7. Pendidikan & Kesehatan
• Mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
• Menghapus pajak buku pelajaran dan menghentikan model penggantian buku pelajaran setiap tahun.
• Membagi sedikitnya 1 juta lap-top kepada mahasiswa per tahun.
• Mengaktifkan kembali program KB (Keluarga Berencana).
• Meningkatkan peran PKK, Posyandu dan Puskesmas.
• Menempatkan sarjana dan dokter baru melalui program pemerintah terutama di kantong-kantong kemiskinan.
• Menggerakkan Revolusi Putih dengan menyediakan susu untuk anak-anak miskin.
8. Menjaga Kelestarian Alam dan Lingkungan Hidup
• Melakukan penghijauan kembali 59 juta Ha hutan yang rusak serta konservasi aneka ragam hayati dan hutan lindung.
• Mengamankan dan merehabilitasi daerah aliran sungai
• Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan.
• Melindungi flora dan fauna sebagai bagian dari aset bangsa.
Survei: Prabowo dan Mahfud Teratas Jadi Capres 2014
Hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyebutkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Mahkamah Kontitusi Mahfud MD paling banyak mendapat dukungan publik sebagai calon Presiden 2014.
Survei yang dilakukan pada 3-8 Oktober 2011 tersebut menunjukkan 28 persen masyarakat memilih Prabowo sebagai calon presiden, sedangkan Mahfud sebesar 10,6 persen. Hasil survei disampaikan peneliti SSS, Ari Nurcahyo, saat melakukan konferensi pers di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (26/10/2011). Teknik penarikan sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan menanyai 1.318 responden di 33 provinsi di Indonesia.
Selain Prabowo dan Mahfud, beberapa calon lainnya yang dipilih masyarakat adalah Sri Mulyani dengan suara sebanyak 7,4 persen, Aburizal Bakrie 6,8 persen, Said Akil Siradj 6 persen, Din Syamsuddin 5,2 persen, Pramono Edhie Wibowo 4,2 persen, Jusuf Kalla 4,0 persen, Djoko Suyanto 3,2 persen, Hatta Rajasa 2,8 persen, dan Surya Paloh 2,5 persen.
Ari mengatakan, alasan responden memilih Prabowo sebagai capres karena beberapa faktor. Menurut Ari, sebesar 66,5 persen masyarakat memilih karena tegas dan 19,9 persen memandang Prabowo memiliki kewibawaan yang cukup sebagai calon presiden. Sementara itu, Mahfud dipilih karena kejujurannya sebesar 37 persen, kepandaian 22,8 persen, dan ketegasan 21,7 persen.
Adapun Sri Mulyani, sebesar 44,3 persen, masyarakat memilih dia karena kepandaiannya 27 persen, visioner, dan pekerja keras 10,3 persen. Aburizal Bakrie karena kekayaannya sebesar 65,4 persen, Din Syamsuddin 39,1 persen karena kejujurannya, dan Said Akil Siradj karena religiositasnya sebesar 35,4 persen.
"Jadi, dari data tersebut, tampak masyarakat sekarang ini cenderung rindu akan ketegasan. Boleh jadi ini merupakan bandul yang bergerak diametral karena publik menilai karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang peragu," ujar Ari.
Menurut Ari, karena penilaian karakter yang tegas kepada Presiden SBY telah bergerak ke sisi decisive, maka Prabowo menjadi satu-satunya figur yang dipandang responden merepresentasikan ketegasan tersebut.
Ia menilai, hal tersebut nantinya akan mengakibatkan beberapa tokoh senior tidak akan mengikuti kontestasi politik praktis lagi. "Seperti Megawati, Sultan Hamengku Buwono, Jusuf Kalla, Amien Rais, Wiranto, mereka kemungkinan besar akan lengser keprabon, dan hanya menjadi guru bangsa. Dalam konteks ini, Prabowo bisa menjadi satu-satunya tokoh yang masih ada di ranah Pilpres 2014," kata Toto.
Pengamat politik J Kristiadi mengatakan, hasil survei tersebut merupakan gambaran bahwa masyarakat kini memang membutuhkan sosok pemimpin tegas. Ia menilai, dengan kepemimpinan SBY yang terkesan ragu sekarang ini, menjadi pemicu rakyat untuk memilih calon lainnya yang lebih tegas dan berkarakter. "Sosok tegas itu akan dibutuhkan untuk membawa bangsa ini ke arah mana. Dan, dengan nama Mahfud MD di bawahnya, itu akan menjadikan keseimbangan yang cukup baik bagi karakter pemimpin yang tegas dari militer," kata Kristiadi.
Minggu, 15 Januari 2012
Teroris Tabung Gas
Maraknya kasus ledakan tabung gas akhir-akhir ini semakin meneror warga kota-kota besar Indonesia. Dalam bulan Juni ini saja sudah terjadi 3 ledakan, berturut-turut di Jakarta, Makassar, dan Surabaya. Selama tahun 2010 saja terhitung sudah terjadi 33 kasus serupa, menewaskan 8 orang dan mencederai 44 lainnya. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2009 (sebanyak 33 kasus) dan 2008 (sebanyak 27 kasus).
Teror ini semakin meresahkan sebagian besar warga. Tidak hanya bagi para pedagang kecil, tetapi juga rumah tangga di perkampungan-perkampungan urban. Pemerintah sendiri telah berjanji untuk meningkatkan pengawasan. Tapi kami berposisi, selain pengawasan ekstra ketat kepada para pengusaha nakal, para 30 produsen kompor gas, 15 produsen katup pengaman elpiji, 15 produsen regulator, 20 produsen slang, dan 70 produsen tabung, pemerintah seharusnya memaksimalkan sosialisasi teknis dan operasi pasar terhadap barang palsu. Barskrim Polisi juga seharusnya bertindak cepat. dengan segera menangkap para produsen ataupun distributor yang nakal. Penjara seumur hidup adalah hukuman maksimal untuk pelaku pembunuhan, minimalnya denda.
Dunia ini semakin menyeramkan saja, hidup seperti layaknya film thriller. Seorang atau sekelompok orang tidak akan pernah tahu kapan kompor gas di dapur rumah mereka meledak, ini akan menambah tingkat stress di otak, apalagi jika di rumahnya ternyata tidak memiliki alat pemadam kebakaran. Maka, seharusnya Departemen Perdagangan dan Perindustrian juga berupaya untuk mendistribusikan alat pemadam kebakaran ke rumah-rumah tangga, sebagai kebutuhan prosedur standar keamanan lingkungan manusia. Antisipasi yang bisa diberikan adalah safety, jaminan bagi rakyat bahwa hidupkan aman. Dalam hal ini pemerintah harus bertanggung jawab atas teror yang diakibatkan konversi minyak tanah ke gas.
Orang dalam Pertamina boleh saja menduga bahwa ini ada “permainan kotor” dalam pasar kompor gas. Ada sabotase dari pihak pesaing Pertamina, sang mantan penguasa tunggal pasar hilir gas, mungkin dari pemain dari India atau Negara asia lainnya. Logika konspiratif semacam ini dibenarkan dalam suasana liberalisasi migas. Kalau memang merugikan, kenapa tidak seluruh pasal UU Migas 2001 yang merugikan kita amandemen. Termasuk soal batas ekspor gas yang cuma 25%. Program konversi yang dimulai Pemerintah di tahun 2007 ini hanya retorika kosong belaka jika penguasaan Negara terhadap gas belum 100%. Secara politik kemudian, kita boleh berposisi untuk membatalkan seluruh kontrak ekspor gas alam dengan alasan yang paling rasional: Indonesia perlu seluruh gasnya untuk mensukseskan Program Nasional Konversi Gas sampai ke kampung-kampung.Akhirnya. Secara keilmuan program konversi minyak ke kompor gas memang menjanjikan kebaikan. Ini tak lain karena tingginya tingkat efisiensi penggunaan energi yang mungkin dicapai dan karakter ramah lingkungan yang mengiringi. Tetapi, setelah melihat banyaknya kasus ledakan tabung 3 kg, bisa-bisa ke depannya masyarakat lebih takut kepada teroris Elpiji, dibanding kepada teroris Amrozi. Pemerintah tolong siaga!
Rabu, 11 Januari 2012
'Betapa Buruknya Pemerintahan Sekarang ini’
Pada tahun 1969, seorang anak muda yang sedang gelisah, Soe Hok Gie, menulis sebuah artikel di harian Kompas. Ia memberi judul artikelnya “Betapa Tak Menariknya Pemerintah sekarang ini”. Di situ, ia menumpahkan segala kegelisahannya terhadap pemerintahan baru: Orde Baru.
Soe Hok Gie, seorang pemuda kritis, juga optimis, tiba-tiba gelisah. Ia, yang hatinya sangat dekat dengan rakyat jelata, sehari-hari mendengar kabar tentang oknum militer yang menampar rakyat biasa, tentang ngebut anak-anak ‘penggede’, atau tentang penyelundupan yang dilindungi.
Meski begitu, Soe Hok Gie masih menutup artikelnya dengan optimisme. Antara idealisme dan kenyataan memang tak selamanya ‘klop’. 32 tahun kekuasaan rejim orde baru jauh lebih buruk dari yang dibayangkan oleh Gie: korupsi merajalela, penggusuran dimana-mana, pemilu selalu dimanipulasi, dan banyak lagi. Boleh jadi, seandainya Gie bisa melihat keseluruhan rejim orde baru, mungkin ia akan menulis dengan judul “Betapa Biadadnya Pemerintahan Sekarang Ini”.
Bagaimana pula kalau Soe Hok Gie sempat menyaksikan rejim sekarang? Kita sulit membayangkan responnya ketika mendengar kabar pembantaian rakyat di Mesuji, Bima, dan berbagai tempat lainnya. Selain itu, darahnya juga akan seketika mendidih saat mendengar kabar: pelajar SMU dipenjara karena soal sandal, nenek tua dipenjara karena tiga butir kakao, dan nasib dua pemuda difabel yang dipenjara lantaran sembilan tandan pisang.
Sementara itu, di gedung parlemen dan istana negara sana, banyak koruptor yang tak tersentuh proses hukum. Lihat pula proses persidangan para koruptor kakap di pengadilan yang seolah-seolah disengaja untuk “lamban”. Nanti, kalau rakyat sudah tidak menyimak kasus itu, hakim akan menjatuhkan vonis ringan.
Hidup di bawah rejim sekarang sungguh tidak enak, bahkan sangat menakutkan. Bayangkan, gara-gara berbeda cara dalam beribadah, anda bisa dianggap sebagai ‘aliran sesat’ dan tempat ibadah anda akan dibakar. Nyawa anda pun bisa terancam. Akan tetapi, yang lebih tidak mengenakkan lagi adalah sikap abai pemerintah, seolah-olah peristiwa semacam itu ‘hal biasa’.
Soal kesejahteraan rakyat, apalagi, inilah yang paling buruk saat ini. Dulu sudah ada kaya dan miskin, tetapi jurangnya pemisahnya belum terlalu dalam. Sekarang, sejak pemerintah doyan menggunakan resep neoliberal, kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi sungguh luar biasa. Bayangkan, kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia itu setara dengan kekayaan 140 juta penduduk.
Kekayaan alam kita, yang sejak dulu dikenal sangat melimpah, tidak menjadi senjata memakmurkan rakyat. Sebagian besar kekayaan alam itu, seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, bauksit, dan lain-lain, sudah berpindah tangan ke sejumlah perusahaan asing. Bahkan, demi mempermudah proses penyerahan kekayaan alam itu kepada pihak asing, raja-raja kecil di daerah pun diberi lisensi bernama “Ijin Usaha Pertambangan”. Jadinya, seperti dikatakan orang, diperkirakan 90% dari keuntungan eksplorasi SDA itu diangkut keluar negeri, sedangkan 10% sisanya masuk ke kantong penguasa.
Sudah begitu, rejim saat ini sangat doyan berutang. Terakhir, posisi utang Indonesia per September 2011 adalah Rp1.733,64 triliun. Alhasil, karena dibebani pembayaran cicilan utang, APBN tiap tahun selalu “cekak”. Anggaran untuk pembangunan dan program kesejahteraan rakyat sangat minim: anggaran untuk belanja modal hanya 17,62%, sedangkan belanja sosial hanya 6,67%.
Lebih menyebalkan lagi, rejim sekarang suka bermain popularitas dengan gaya politik pencitraan. Perhatian terhadap rakyat korban bencana, misalnya, ditunjukkan dengan aksi ‘presiden pindah ngantor’. Perhatian presiden dengan soal seni budaya ditunjukkan dengan Presiden bermain gitar dan mengeluarkan album.
Presiden SBY terlalu banyak menebar pesona, tapi minim kerja konkret. Ketika kaum tani di berbagai daerah ditembaki oleh Polisi, presiden kita tak bisa berbuat apa-apa. Ketika anak-anak negeri dipermainkan oleh hukum yang tak adil, Presiden juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak salah kemudian, ada orang yang mengatakan, “SBY orang yang berkuasa, tapi seolah tak punya kuasa.”
Seandainya Soe Hok Gie masih hidup dan melihat keadaan sekarang, entah judul apa yang diberikan kepada tulisannya. Pastinya, ia tidak cuma gelisah, tapi sangat marah dengan keadaan. Sehingga, judul tulisannya pun adalah ungkapan orang marah: “Betapa Buruknya Pemerintahan Sekarang!”
Senin, 09 Januari 2012
Tak Cukup Dengan Tampilan Sederhana!
Dalam dunia politik yang bak sinetron, perbedaan antara mana perilaku serius dan mana cari muka sangat tipis. Maklum, banyak diantara pelakon itu justru tidak merisih dengan berbagai puja-puji atas dirinya. Bukankah ada sinisme yang berkata: terkadang yang suka gembar-gembor itu adalah tukang jual obat.
Begitu pula dengan ulasan berulang-ulang tentang kehidupan sederhana sejumlah pejabat negara. Para pembaca pun berdecak kagum: di negeri ini ternyata masih banyak pejabat yang ‘merakyat’. Masalahnya: para pembaca baru menangkap satu sisi dari kehidupan sang pejabat.
Di masa ini, pejabat memang sangat berjarak dari rakyatnya. Gaya hidup mereka benar-benar berbeda dengan rakyatnya. Akibatnya, mereka pun seperti terasing di tengah rakyatnya sendiri. Karena itu, begitu bertemu dengan pejabat yang sederhana, maka pun seolah menemukan mimpi yang sudah lama menghilang.
Kami sangat mengapresiasi para pejabat yang memilih kesederhanaan. Dengan begitu, kita tak perlu khawatir anggaran negara habis dikorupsi. Selain itu, anggaran operasional aparatus negara menjadi berkurang, apalagi jika si pejabat tidak terlalu memusingkan gaji, mobil dinas, dan fasilitas lainnya.
Akan tetapi, apakah dengan hidup sederhana, seorang pejabat sudah pantas disebut merakyat? Kita tidak bisa mengambil kesimpulan sesederhana itu. Sebab, ada aspek lain yang perlu diperiksa lebih lanjut: keberpihakan politik si pejabat negara. Sejauh mana ia mendorong kebijakan-kebijakannya yang memihak kepentingan rakyat.
Ambil contoh, si pejabat A hidup sangat sederhana. Ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Setiap hari, jika ke kantor, ia menyetir sendiri mobilnya. Terkadang, tanpa disangka-sangka, ia berbaur dengan penumpang kereta rel, lalu singgah makan soto di warung pinggir jalan, sebelum mengikuti rapat kabinet.
Akan tetapi, rupanya, si pejabat A adalah seorang menteri pendukung privatisasi. Dengan menyembah efisiensi dan profesionalisme, ia tega membiarkan layanan publik sulit diakses oleh rakyat banyak. Ia juga membiarkan, bahkan mendukung, pemberangusan serikat buruh yang menentang privatisasi. Padahal, di mata banyak aktivis pergerakan, privatisasi adalah bagian dari proyek neokolonialisme.
Di sini letak masalahnya: si pejabat A memang terlihat sederhana, tapi ia adalah pendukung setia neokolonialisme. Sementara, kita tahu, penyebab keterpurukan bangsa selama ini adalah proyek neokolonialisme. Selama beratus-ratus tahun, dengan pengecualian beberapa puluh tahun di era Bung Karno, kekayaan alam dan keuntungan ekonomi di atas bumi Indonesia selalu mengalir keluar.
Ada pula pejabat B, yang bekas pemimpin lembaga anti-korupsi, juga digembor-gemborkan dengan kehidupannya yang sederhana. Menurut isu yang beredar, si pejabat B pun turun pangkat lantaran aksinya yang bikin gerah koruptor. Ia juga sangat pedas ketika mengeritik gaya hidup politisi yang sangat mewah. Ia pun mendapat puja- puji lantaran aksinya itu.
Tapi, sebetulnya, si pejabat B tidak punya prestasi memberantas korupsi. Ia bertindak tak ubahnya “wayang penguasa”. Banyak kasus korupsi yang besar, khususnya yang melibatkan rejim berkuasa, tak kuasa disentuhnya. Ia pun diam seribu bahasa menyaksikan milyaran dollar keuntungan ekonomi nasional mengalir keluar negeri.
Kita memang butuh pemimpin sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan itu tidak gunanya jikalau pemimpin tersebut punya kebijakan ekonomi-politik yang merugikan kepentingan rakyat banyak. Kita butuh pemimpin yang seperti Bung Karno dan Bung Hatta: sederhana dan anti-kolonialisme/imperialisme. Kita butuh pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Kamis, 05 Januari 2012
Hakekat Reformasi Agraria
Konflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.
Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?
Definisi Reformasi Agraria
Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).
Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.
Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.
Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.
Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.
Membangun Harapan Di Tahun 2012
Kita sudah menginjak tahun 2012. Banyak harapan yang tersemai di tahun baru ini. Setidaknya, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, kehidupan di tahun 2012 harus jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tahun 2012 harus memberi kepastian akan kehidupan mereka. Setidaknya, negara harus menjamin hak-hak rakyat yang bersifat dasar: hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak berserikat dan menyatakan pendapat, hak untuk ikut serta dalam kehidupan politik, dan hak beragama atau kepercayaan tertentu.
Mari melihat sekilas kehidupan rakyat di tahun 2011. Sepanjang tahun, kehidupan rakyat sangat sulit. Sebagian besar diakibatkan oleh kebijakan neoliberal yang makin menderas. Harga-harga sembako terus melangit karena pemerintah lepas tangan terhadap pasar. Produk pertanian dalam negeri membusuk karena diserbu oleh produk impor. Industri dalam negeri terus berjatuhan karena pemerintah meliberalkan perdagangan. Nilai real upah buruh kian merosot karena pemerintah setuju mempraktekkan politik upah murah. Layanan publik serba mahal karena perusahaan-perusahaan negara sudah dijual kepada swasta. Masih banyak lagi yang tidak tersebutkan…
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, perusahaan asing makin lahap dalam menguras kekayaan alam kita: minyak, batu bara, gas, tembaga, emas, bauksit, dan lain-lain. Mereka juga merampas tanah-tanah rakyat, mencemari lingkungan kita, dan menggunduli hutan kita. Begitu rakyat memprotes hal itu, pemerintah hanya menjawab singkat: “jangan ganggu investasi. Inilah motor pembangunan!”
Tahun 2011 adalah tahun neokolonialisme 100%. Rejim SBY-Budiono doyan betul mengikuti jalan neoliberal. Padahal, seperti banyak diperingatkan banyak cendekiawan, neoliberal merupakan jubah baru dari neokolonialisme.
Karena itu, menghadapi tahun 2012, kami menjadi sangat khawatir. Pasalnya, kita masih menapaki tahun 2012 dengan rejim dan haluan ekonomi yang masih sama: neokolonialisme. Saya menjadi khawatir, tahun 2012 justru akan menjadi tahun intensifikasi neokolonialisme.
Kekhawatiran kami kian menjadi-jadi, tatkala Presiden SBY menyampaikan pidato menyambut tahun 2012. Dalam pidatonya yang cukup singkat, SBY mengimbau agar setiap kalangan untuk menciptakan “kestabilan politik”. Singkatnya, Presiden meminta agar jangan lagi ada “kegaduhan politik”. Ironisnya, pidato itu disampaikan atas nama rakyat Indonesia.
Himbauan SBY di atas adalah ironi. Bagaimana mungkin orang disuruh tenang, sementara kebijakan negara membiarkan pihak kolonialis menjarah kesejahteraan rakyat secara brutal. Bagaimana mungkin rakyat disuruh diam, sementara tanah-tanah mereka dirampas oleh perusahaan asing. Bagaimana mungkin kita tidak mengeluarkan suara protes, jika rejim berkuasa membiarkan kolonialisme merampok seluruh kekayaan alam dan sumber-sumber kemakmuran rakyat kita.
Artinya: jika SBY menyuruh kita diam, itu berarti dia menghendaki agar penindasan terhadap rakyat jangan diganggu. Dia menghendaki penembakan petani di berbagai daerah tidak usah dipersoalkan. Ia menghendaki agar penindasan terhadap pemogokan buruh dibiarkan saja.
Himbauan SBY membawa pesan sangat dalam: jangan ada kegaduhan politik, supaya proyek neokolonialisme berjalan terus. Yang dibutuhkan oleh SBY adalah ketenangan dan kestabilan bagi proyek neokolonialisme. Ini sama persis dengan gaya gubernur jenderal Hindia-Belanda dulu.
Pidato SBY itu hendak membunuh harapan kita di tahun 2012. Kita perlu tegaskan: selama praktek neokolonialisme masih berlangsung, maka tidak mungkin terjadi perubahan dalam kehidupan rakyat kita. Oleh karena itu, menapaki tahun 2012 ini, mari menggelorakan perlawanan terhadap neokolonialisme. Mari gelorakan terus “Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945!”
Langganan:
Postingan (Atom)