Kamis, 05 Januari 2012
Hakekat Reformasi Agraria
Konflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.
Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?
Definisi Reformasi Agraria
Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).
Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.
Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.
Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.
Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar