Senin, 21 Mei 2012
Siaran Pers KPPA
KOMITE PERJUANGAN PEMBARUAN AGRARIA
KPPA
SULAWESI UTARA
SIARAN PERS
TANAH NEGARA HGU NOMOR 1 BUHA KEMBALIKAN KEPADA RAKYAT
Salam Reformasi Agraria…….!!!
Mengutip pernyataan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, bahwa pemerintah akan membagikan lahan seluas 6 juta hektar kepada masyarakat ‘yang memerlukan’. Soal kriteria masyarakat ‘yang memerlukan, Joyo Winoto menyebut beberapa kriteria, diantaranya, masyarakat miskin, tidak memiliki tanah atau memiliki tanah dengan skala kecil, dan syarat lain seperti kesesuain profesi masyarakat penerima tanah. Masih menurut berita dari harian dan edisi yang sama, Joyo Winoto secara tegas menyatakan bahwa kebijakan pembagian tanah ini akan mengadopsi kebijakan serupa yang dilaksanakan di Venezuela. Penegasan yang agak mengejutkan karena merujuk pada sebuah transformasi sosial radikal di bidang pertanahan. Namun, seluruh kebijakan tersebut baru akan terlaksana setelah tuntasnya pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria.Sekilas kebijakan pemerintah yang diungkapkan oleh kepala BPN tersebut menyiratkan keberpihakan pada rakyat miskin, khususnya kaum buruh tani serta petani gurem. Apalagi rujukan dari kebijakan itu adalah revolusi pertanahan yang dijalankan pemerintahan sosialis Hugo Chavez di Venezuela, sebagai bagian dari Revolusi Bolivarian yang dicanangkan Chavez semenjak berkuasa 12 tahun lalu. Tetapi, apakah pemerintahan SBY-Boediono (termasuk BPN sebagai salah satu aparatusnya) mampu mengimplementasikan kebijakan yang serupa ?
Kalau dirunut lebih jauh, wacana pembagian jutaan hektar tanah pada kaum miskin kali ini bukanlah yang pertama kalinya dikatakan oleh SBY maupun aparatusnya. Di awal tahun 2007, SBY mencanangkan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang merencanakan redistribusi tanah seluas 8,1 juta hektar kepada rakyat miskin. Namun, pada kenyataannya, bukan redistribusi tanah bagi kaum miskin atau tani yang terjadi, melainkan penggusuran 24.257 KK petani dari lahannya. Dan, jumlah ini bertambah pada tahun 2008 menjadi 31.267 kk petani yang tergusur dari lahan yang menjadi tumpuan hidupnya. Kasus agraria pada tahun 2007, menurut catatan BPN, juga meningkat menjadi 7.491 kasus dari 2.810 kasus agraria pada tahun 2006. Penghianatan pada kaum tani semakin nampak ketika pemerintah dan DPR mengesahkan UU Penanaman Modal pada Maret 2007 yang memberi ruang bagi investor asing untuk menguasai tanah di negeri ini hingga 95 tahun. Selain itu, program BPN Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan (Larasita), yang diklaim sebagai sertifikasi pertanahan bagi rakyat, pada kenyataannya adalah implementasi dari proyek pasar tanah liberal Land Administration Project (LAP) dan Land Management and Policy Development Project (LMPDP) yang diintrodusir Bank Dunia. Proyek yang telah dijalankan sejak tahun 2005-2009 tersebut sekedar melegalisasi struktur agraria yang timpang dan tidak berpihak pada petani maupun kaum miskin.
Kini, pemerintahan SBY-Boediono beserta DPR tengah membahas RUU Pengadaan Tanah sebagai regulasi yang menyempurnakan Perpres 65/2006 mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum (baca : pemodal). Perpres 65/2006 inipun merupakan hasil revisi dari Perpres 36/2005 yang diproduksi rezim SBY-JK pasca penyelenggaraan Infrastructure Summit 2005. Perpres 36/2005 tersebut ditolak oleh berbagai kalangan masyarakat karena sarat kepentingan pemodal yang bergerak disektor infrastruktur. Namun revisi yang berbuah Perpres 65/2006 itu tidak menunjukkan perubahan yang substansial.
Mencermati Persoalan ini maka KPPA-Sulawesi Utara Mendesak:
1. Pemerintah Sulawesi Utara Segera Mengambil Langkah Penting untuk menyelesaikan sengketa Tanah yang cukup Tinggi di Sulawesi Utara.
2. Distribusikan Tanah Negara sertifikat HGU No.1 yang terletak di Kelurahan Buha Kecamatan Mapanget Kota Manado Kepada Rakyat/Petani Penggarap.
3. Mendesak BPN-Sulawesi Utara agar segera meninjau kembali Sertifikat-sertifikat HGU/HGB atas Tanah Negara di Seluruh wilayah Sulawesi Utara.
Demikian Siaran Pers ini dibuat atas Perlunya.
Manado, 21 Mei 2012
KOMITE PERJUANGAN PEMBARUAN AGRARIA
KPPA-SULAWESI UTARA
BENNY RHAMDANI JIMMY R.TINDI
KETUA UMUM SEKJEN
Selasa, 14 Februari 2012
Kebijakan Energi Yang Melemahkan Bangsa
Harga BBM akhirnya naik lagi. Kenaikan ini diakui presiden telah disetujui diam-diam per tanggal 7 Februari 2012 melalui sebuah peraturan presiden. Meski judul yang dikeluarkan adalah “pembatasan BBM bersubsidi” namun hakekat dari kebijakan ini tidak dapat menipu; yakni kenaikan harga. Suara protes disertai opsi alternatif yang ramai dibicarakan tampak sama sekali tidak digubris oleh penguasa. Bersamaan dengan itu pemerintah telah mengagendakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% yang akan mulai diberlakukan beberapa pekan ke depan.
Dalam kebijakan energi ini, persoalan utamanya bukan subsidi yang tidak tepat sasaran, ataupun masalah pemborosan energi, seperti yang sering dikatakan para pejabat dan akademisi pendukung liberalisasi. Alasan-alasan ini hanya ekspresi dari cara pandang yang merendahkan arti penting energi bagi kemajuan bangsa. Penguasa sekarang tidak melihat energi sebagai kebutuhan fundamental dalam rangka memajukan masyarakat.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa tingkat kecerdasan masyarakat berbanding lurus dengan tingkat penggunaan energi dalam masyarakat. Artinya, makin tinggi pemanfaatan energi maka semakin cerdas pula suatu masyarakat. Dengan ketersediaan energi secara luas dan memadai maka akan semakin banyak pula kesempatan bagi masyarakat untuk belajar (membaca, menulis, menggunakan komputer, dll.) serta menggunakan berbagai alat berteknologi maju lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan energi.
Ini baru satu aspek. Aspek penting lainnya yang masih berhubungan adalah kemajuan tenaga produktif berupa penggunaan alat-alat kerja modern atau mesin-mesin untuk berbagai industri. Bila menginginkan negara ini maju maka kita perlu membandingkan penggunaan alat-alat kerja modern oleh rakyat di negeri-negeri maju. Semua alat modern tersebut, mulai dari industri pertanian, peternakan, perikanan, tambang, industri pengolahan, sampai dengan industri jasa (transportasi, kebersihan, dan lain-lain) didukung oleh ketersediaan energi yang cukup.
Begitu pentingnya energi bagi kemajuan suatu bangsa sehingga negara sebesar Uni Soviet menempatkan program ini dalam skala prioritas pada dekade awal pemerintahannya. Listrikisasi sampai ke desa-desa dicanangkan oleh pemimpin revolusinya, V.I. Lenin, kemudian dilanjutkan oleh Joseph Stalin dengan industrialisasi dalam skala besar. Dengan kebijakan energi yang tepat, dan tanpa tedeng aling-aling, maka Uni Soviet dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat.
Adalah kebodohan yang tidak termaafkan apabila pemerintah sekarang menyerahkan potensi energi yang melimpah di Tanah Air ini untuk perusahaan-perusahaan asing, sehingga energi berubah menjadi komoditi bisnis yang dijual dengan harga tinggi kepada rakyat. Kebodohan lainnya adalah tidak memanfaatkan potensi-potensi sumber daya energi selain energi fosil seperti sinar matahari, tenaga air, angin, arus laut, dan bahkan nuklir (bila bisa menjamin keamanannya). Mungkin pada tahap awal akan membutuhkan anggaran yang besar untuk membangun infrastruktur dan sebagainya, namun manfaatnya dalam jangka panjang akan sangat terasa.
Kenaikan harga BBM dan rencana kenaikan harga TDL yang terjadi berulangkali merupakan kesalahan fatal yang harus segera dihentikan. Bila ada penggunaan energi secara berlebihan untuk kegiatan yang tidak produktif maka penyelesaiannya bukan dengan menaikkan harga. Sebagai contoh, semakin banyaknya pengguna kendaraan bermotor (mobil maupun sepeda motor) bukanlah penyebab ‘keborosan’ dimaksud. Penyebabnya adalah tidak adanya kemauan pemerintah untuk menyediakan dan membenahi sarana transportasi massal yang ada, sehingga perusahaan-perusahaan otomotif asing yang terus menuai keuntungan.
Sudah cukup kita berkompromi dengan pemerintahan yang selalu mengatakan A tapi pelaksanaannya minus A. Pemerintahan yang selalu berjanji memajukan tapi langkah-langkahnya justru melemahkan kekuatan bangsa. Kebutuhan energi masih sangat besar untuk membangun masyarakat yang adil-makmur ke depan. Hingga sekarang baru 60% rakyat Indonesia yang dapat mengakses listrik. Bila liberalisasi ini terus dilakukan pemerintah maka bangsa ini akan semakin dilemahkan; industrinya, manusia-manusianya, dan kehidupan sosialnya secara keseluruhan. Karena itu, menjadi tanggungjawab kita semua untuk bersama menolak liberalisasi energi ini.
Kenapa Modal Asing Dipersoalkan?
Sejak UU PMA disahkan tahun 1967, modal asing kembali mengambil ‘kendali’ dalam perekonomian nasional Indonesia. Bahkan, karena regulasi yang membuka pintu ekonomi lebar-lebar, modal asing sudah berada dalam posisi “mendominasi” perekonomian. Ia sudah berjengkelitan di atas karpet ekonomi nasional.
Perdebatan soal modal asing sudah berlangsung sejak lama. Ia bahkan sudah berlangsung sejak Indonesia ini masih dalam gagasan para pejuang pembebasan nasional. Saat itu, mereka sangat sadar betul bahwa modal asing merupakan bagian dari praktek penjajahan itu sendiri. Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial, yang kemudian dikenal dengan Indonesia Menggugat, Bung Karno sudah menandai penanaman modal asing sebagai aspek melekat dalam imperialisme modern.
Kami anggap pandangan itu tidak berubah hingga detik-detik menjelang Indonesia dimerdekakan. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hampir semua peserta sepakat bahwa ekonomi Indonesia merdeka haruslah diorganisir dari kemampuan rakyat dan tidak bergantung kepada modal asing.
Sekarang ini Indonesia menjadi ‘lahan suburnya modal asing’. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM, pada semester 1-2011 realisasi investasi sebesar Rp115,6 triliun, dimana Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp33 triliun dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp82,6 triliun.
Sebagian besar investasi itu berasal dari Amerika dan Eropa. Modal AS di Indonesia pada 2008 mencapai USD157 juta. Lalu, pada tahun 2010, jumlah investasi AS sudah berkisar USD871 juta di luar migas. Sementara Indonesia juga menjadi penyerap 1,6% dari total investasi dari Eropa. Setidaknya ada sekitar 700 perusahaan dengan total investasi sekitar 50 miliar euro.
Kami tidaklah anti-asing, atau asal-asalan anti-modal asing, tetapi berusaha berfikir kritis terhadap dampak buruk modal asing terhadap pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional indonesia.
Fakta sudah menunjukkan bahwa keberadaan modal asing tidak membawa kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia. Ambil contoh: sejak tahun 1967 hingga sekarang kegiatan pertambangan Freeport di Papua sudah menghasilkan sedikitnya 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Jika diuangkan, maka jumlahnya mencapai ratusan ribu billion rupiah (itu beratus-ratus kali lipat dari jumlah APBN kita).
Tetapi, lihatlah kondisi rakyat di sana: kondisi infrastruktur masih buruk, rakyat hidup miskin, pengangguran dimana-mana, sekolah susah diakses, layanan kesehatan mahal, dan lain sebagainya. Ini juga nampak dari penjelasan Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, “rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar”.
Tidak ada satupun “imperialis” di dunia ini yang menanam kapital dengan semangat peri-kemanusiaan dan semangat menolong antar-sesama. Sebab kapitalisme, seperti dikatakan Lenin dalam “Imperialisme: Tahap Tertinggi Kapitalisme”, baik perkembangan tidak rata maupun taraf hidup yang setengah kelaparan dari massa adalah syarat fundamental dan tak terelakkan dan dalil utama cara produksi yang itu. Tujuan mereka adalah untuk menggali keuntungan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang: pemilik kapital.
Ini sudah disinggung oleh Bung Hatta sejak 70-an tahun yang lalu. Dalam satu potongan artikelnya di buku “Beberapa Fasal Ekonomi”, Bung Hatta menulis sebagai berikut:
“Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat (cetak miring sesuai aslinya), mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Pedoman bagi mereka untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkan mestilah lebih dari pada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dengan keadaan, industri agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu.
Dan, dengan jalan itu, tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, Industrialisasi Indonesia dengan kapital asing tidak dapat diharapkan. Apalagi mengingat besarnya resiko yang akan menimpa kapital yang akan dipakai itu. Industrialisasi dengan bantuan kapital asing hanya mungkin, apabila pemerintah ikut serta dengan aktif, dengan mengadakan rencana yang dapat menjamin keselamatan modal asing itu.
Jumat, 10 Februari 2012
Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
Akhirnya, setelah cukup lama menggelinding tidak jelas, kasus korupsi wisma atlet mulai menyeret aktor-aktor utamanya. Pada 3 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang petinggi partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka.
Di jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter, gebrakan KPK tersebut mengundang apresiasi banyak orang. Maklum, pejabat KPK sebelum periode sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus korupsi di sarang penguasa: istana dan partai demokrat.
Gairah anti-korupsi pun muncul kembali. Iklan anti-korupsi partai demokrat, yang juga melibatkan Angelina dan Anas Urbaningrum sebagai aktornya, jadi ‘bulan-bulanan’ kecaman warga Facebook. Bagi sebagian orang, dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan banyak orang Demokrat, bahkan kemungkinan menyeret Ketua Umumnya Anas Urbaningrum, jualan SBY tentang anti-korupsi sudah tidak laku lagi.
Pada tahun 2009 lalu, ketika dua petinggi KPK hendak dikriminalkan oleh Polisi, muncul gerakan sosial anti-korupsi yang cukup kuat di jejaring sosial. Di facebook, misalnya, dukungan terhadap gerakan ini mencapai jutaan orang/pengguna. Lalu, dalam kasus Prita Mulyasari, dukungan luas di dunia maya juga sangat besar.
Akan tetapi, kendati dukungan begitu melimpah ruah di dunia, tetapi di jalanan dukungan itu tidak terlalu signifikan. Sebagian besar facebooker dan tweeple (pengguna twitter), yang juga sebagian besar klas menengah, hanya sanggup bergerak di dunia maya.
Benar, jejaring sosial punya signifikansi dalam kampanye dan penggalangan isu. Hanya saja, aktivitas dunia maya (klik, update status, share) belum tentu bisa mengubah keadaan. Tetap saja gerakan sosial di dunia maya itu butuh aksi konkret di dunia nyata.
Internet, sengaja atau tidak, telah memprivatisasi kehidupan politik. Banyak orang mempercayai bahwa mensirkulasikan berbagai statemen, kronologis, atau manifesto untuk orang lain di jejaring sosial adalah aksi politik. Akhirnya, mereka mengabaikan pentingnya aksi politik di dunia nyata: aksi ke sasaran-sasaran kekuasaan, konfrontasi, penggalangan massa rakyat, dan seterusnya.
Kita pun melihat fenoma politik waktu luang. Aktualisasi politik sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadinya, kelihatan seperti aji-mumpung: mumpung ada waktu, ia melontarkan kritik via update status atau comment. Ini adalah gaya berpolitik klas menengah, yang terpisah dan kehilangan kontak dengan realitas dan massa luas.
‘Pengkultusan’ terhadap peran internet dalam sejumlah perubahan sosial di ‘Arab Spring”, khususnya di Tunisia dan Mesir, telah mengabaikan fakta: gerakan revolusioner di Mesir, juga Tunisia, tidak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar jikalau tidak ada pengorganisiran massa, propaganda massif, pengorganisiran rakyat, pembuatan panggung-panggung protes, dan seterusnya.
Di negara-negara yang sangat represif, seperti Mesir dan Tunisia, jejaring sosial memang bisa berperan penting dalam mempublikasikan aksi publik, menggalang solidaritas, dan mengorganisir protes. Akan tetapi, di negera yang sangat liberal seperti Indonesia, kontak langsung dengan massa justru menjadi sangat penting.
Lagi pula, jejarang sosial bisa sangat berguna bagi gerakan sosial, tapi ia tidak dapat diandalkan untuk melakukan revolusi; ia dapat memberi informasi, mengorganisir forum debat, dan menyerukan mobilisasi, tetapi ia tidak dapat menyediakan kepemimpinan dan organisasi untuk memastikan aksi politik sampai pada perebutan (bukan sekedar menggulingkan) kekuasaan.
Oleh karena itu, di tengah ‘kegentingan’ negara kita akibat korupsi, dan terutama sekali akibat eksploitasi neoliberal, sangat diharapkan adanya tindakan dan aksi politik yang konkret: protes besar-besaran, pawai akbar, rapat akbar, konfrontasi di pusat kekuasaan, dan lain-lain.
Melansir data Socialbakers.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta pengguna. Sedangkan pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta akun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, jejaring sosial memang potensial sebagai media propaganda dan meluaskan perlawanan.
Akan tetapi, dunia maya bukanlah arena perjuangan sosial sesungguhnya, melainkan di dunia nyata. Korupsi tidak akan berhenti kalau cuma dikecam, tetapi memerlukan adanya aksi politik untuk menghancurkan sistim ekonomi-politik yang telah memungkinkan terjadinya korusi.
Sudah tiba saatnya protes dan kemarahan di dunia maya dimanifestasikan di dunia nyata. Sudah tiba saatnya pula kaum militan di dunia maya menjalin kontak dengan realitas dan massa rakyat.
Kamis, 19 Januari 2012
VISI DAN MISI GERINDRA
Berikut ini merupakan program aksi yang telah kami sosialisaikan melalui media massa di seluruh Indonesia. Inilah komitmen nyata kami untuk membangun negeri dengan rangkaian kebijakan, bukan rangkaian janji.
MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA RAYA
8 PROGRAM AKSI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT
1. Menjadwalkan Kembali Pembayaran Utang Luar Negeri
• Mengalihkan dana pembayaran utang luar negeri sebagai modal penyertaan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, pangan dan energi, yang murah serta ramah lingkungan.
2. Menyelamatkan Kekayaan Negara untuk Menghilangkan Kemiskinan
• Menjadikan BUMN sebagai lokomotif dan ujung tombak kebangkitan ekonomi.
• Menghentikan penjualan aset negara yang strategis dan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak.
• Meninjau kembali semua kontrak pemerintah yang merugikan kepentingan nasional.
• Mewajibkan eksportir nasional yang menikmati fasilitas kredit dari negara untuk menyimpan dana hasil ekspornya di bank dalam negeri.
• Membangun industri pengolahan untuk memperoleh nilai tambah.
3. Melaksanakan Ekonomi Kerakyatan
• Mencetak 2 juta Ha lahan baru untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, tebu yang dapat mempekerjakan 12 juta orang.
• Mencetak 4 juta Ha lahan untuk aren (bahan baku bio ethanol) yang dapat mempekerjakan 24 juta orang.
• Membangun pabrik pupuk Urea dan NPK dengan total kapasitas 4 juta ton.
• Memperbesar permodalan lembaga keuangan mikro untuk menyalurkan kredit bagi rakyat kecil.
• Membangun sarana transportasi massal.
• Modernisasi pasar tradisional untuk pedagang kecil.
• Meningkatkan pendapatan per kapita dari USD 2000 menuju USD 4000.
4. Delapan Program Desa
• Listrik desa
• Bank dan lembaga keuangan desa
• Koperasi desa, lumbung desa, pasar desa
• Air bersih desa
• Klinik desa
• Pendidikan desa
• Infrastruktur pedesaan dan daerah pesisir
• Rumah sehat pedesaan
5. Memperkuat Sektor Usaha Kecil
• Prioritas penyaluran kredit perbankan kepada petani, nelayan dan pedagang kecil.
• Melarang penyaluran kredit bank pemerintah untuk pembangunan perumahan dan apartemen mewah, mall, serta proyek-proyek mewah lainnya.
• Melindungi pedagang pasar trasdisional dengan melarang pembangunan pasar swalayan berskala besar yang tidak sesuai undang-undang.
• Melindungi dan memperjuangkan hak-hak buruh migran (TKI).
6. Kemandirian Energi
• Membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi dan air (10.000 MW).
• Menyediakan sumber energi dengan mendirikan kilang-kilang minyak, pabrik bio ethanol dan pabrik DME (Pengganti LPG).
• Membuka 2 juta hingga 4 juta Ha hutan aren - dengan sistem tanam tumpangsari - untuk produksi bahan bakar ethanol, sebagai pengganti BBM impor. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekpor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam (4 juta Ha hutan aren menghasilkan sekitar 56 juta mt ethanol/tahun).
7. Pendidikan & Kesehatan
• Mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
• Menghapus pajak buku pelajaran dan menghentikan model penggantian buku pelajaran setiap tahun.
• Membagi sedikitnya 1 juta lap-top kepada mahasiswa per tahun.
• Mengaktifkan kembali program KB (Keluarga Berencana).
• Meningkatkan peran PKK, Posyandu dan Puskesmas.
• Menempatkan sarjana dan dokter baru melalui program pemerintah terutama di kantong-kantong kemiskinan.
• Menggerakkan Revolusi Putih dengan menyediakan susu untuk anak-anak miskin.
8. Menjaga Kelestarian Alam dan Lingkungan Hidup
• Melakukan penghijauan kembali 59 juta Ha hutan yang rusak serta konservasi aneka ragam hayati dan hutan lindung.
• Mengamankan dan merehabilitasi daerah aliran sungai
• Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan.
• Melindungi flora dan fauna sebagai bagian dari aset bangsa.
Survei: Prabowo dan Mahfud Teratas Jadi Capres 2014
Hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyebutkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Mahkamah Kontitusi Mahfud MD paling banyak mendapat dukungan publik sebagai calon Presiden 2014.
Survei yang dilakukan pada 3-8 Oktober 2011 tersebut menunjukkan 28 persen masyarakat memilih Prabowo sebagai calon presiden, sedangkan Mahfud sebesar 10,6 persen. Hasil survei disampaikan peneliti SSS, Ari Nurcahyo, saat melakukan konferensi pers di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (26/10/2011). Teknik penarikan sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan menanyai 1.318 responden di 33 provinsi di Indonesia.
Selain Prabowo dan Mahfud, beberapa calon lainnya yang dipilih masyarakat adalah Sri Mulyani dengan suara sebanyak 7,4 persen, Aburizal Bakrie 6,8 persen, Said Akil Siradj 6 persen, Din Syamsuddin 5,2 persen, Pramono Edhie Wibowo 4,2 persen, Jusuf Kalla 4,0 persen, Djoko Suyanto 3,2 persen, Hatta Rajasa 2,8 persen, dan Surya Paloh 2,5 persen.
Ari mengatakan, alasan responden memilih Prabowo sebagai capres karena beberapa faktor. Menurut Ari, sebesar 66,5 persen masyarakat memilih karena tegas dan 19,9 persen memandang Prabowo memiliki kewibawaan yang cukup sebagai calon presiden. Sementara itu, Mahfud dipilih karena kejujurannya sebesar 37 persen, kepandaian 22,8 persen, dan ketegasan 21,7 persen.
Adapun Sri Mulyani, sebesar 44,3 persen, masyarakat memilih dia karena kepandaiannya 27 persen, visioner, dan pekerja keras 10,3 persen. Aburizal Bakrie karena kekayaannya sebesar 65,4 persen, Din Syamsuddin 39,1 persen karena kejujurannya, dan Said Akil Siradj karena religiositasnya sebesar 35,4 persen.
"Jadi, dari data tersebut, tampak masyarakat sekarang ini cenderung rindu akan ketegasan. Boleh jadi ini merupakan bandul yang bergerak diametral karena publik menilai karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang peragu," ujar Ari.
Menurut Ari, karena penilaian karakter yang tegas kepada Presiden SBY telah bergerak ke sisi decisive, maka Prabowo menjadi satu-satunya figur yang dipandang responden merepresentasikan ketegasan tersebut.
Ia menilai, hal tersebut nantinya akan mengakibatkan beberapa tokoh senior tidak akan mengikuti kontestasi politik praktis lagi. "Seperti Megawati, Sultan Hamengku Buwono, Jusuf Kalla, Amien Rais, Wiranto, mereka kemungkinan besar akan lengser keprabon, dan hanya menjadi guru bangsa. Dalam konteks ini, Prabowo bisa menjadi satu-satunya tokoh yang masih ada di ranah Pilpres 2014," kata Toto.
Pengamat politik J Kristiadi mengatakan, hasil survei tersebut merupakan gambaran bahwa masyarakat kini memang membutuhkan sosok pemimpin tegas. Ia menilai, dengan kepemimpinan SBY yang terkesan ragu sekarang ini, menjadi pemicu rakyat untuk memilih calon lainnya yang lebih tegas dan berkarakter. "Sosok tegas itu akan dibutuhkan untuk membawa bangsa ini ke arah mana. Dan, dengan nama Mahfud MD di bawahnya, itu akan menjadikan keseimbangan yang cukup baik bagi karakter pemimpin yang tegas dari militer," kata Kristiadi.
Minggu, 15 Januari 2012
Teroris Tabung Gas
Maraknya kasus ledakan tabung gas akhir-akhir ini semakin meneror warga kota-kota besar Indonesia. Dalam bulan Juni ini saja sudah terjadi 3 ledakan, berturut-turut di Jakarta, Makassar, dan Surabaya. Selama tahun 2010 saja terhitung sudah terjadi 33 kasus serupa, menewaskan 8 orang dan mencederai 44 lainnya. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2009 (sebanyak 33 kasus) dan 2008 (sebanyak 27 kasus).
Teror ini semakin meresahkan sebagian besar warga. Tidak hanya bagi para pedagang kecil, tetapi juga rumah tangga di perkampungan-perkampungan urban. Pemerintah sendiri telah berjanji untuk meningkatkan pengawasan. Tapi kami berposisi, selain pengawasan ekstra ketat kepada para pengusaha nakal, para 30 produsen kompor gas, 15 produsen katup pengaman elpiji, 15 produsen regulator, 20 produsen slang, dan 70 produsen tabung, pemerintah seharusnya memaksimalkan sosialisasi teknis dan operasi pasar terhadap barang palsu. Barskrim Polisi juga seharusnya bertindak cepat. dengan segera menangkap para produsen ataupun distributor yang nakal. Penjara seumur hidup adalah hukuman maksimal untuk pelaku pembunuhan, minimalnya denda.
Dunia ini semakin menyeramkan saja, hidup seperti layaknya film thriller. Seorang atau sekelompok orang tidak akan pernah tahu kapan kompor gas di dapur rumah mereka meledak, ini akan menambah tingkat stress di otak, apalagi jika di rumahnya ternyata tidak memiliki alat pemadam kebakaran. Maka, seharusnya Departemen Perdagangan dan Perindustrian juga berupaya untuk mendistribusikan alat pemadam kebakaran ke rumah-rumah tangga, sebagai kebutuhan prosedur standar keamanan lingkungan manusia. Antisipasi yang bisa diberikan adalah safety, jaminan bagi rakyat bahwa hidupkan aman. Dalam hal ini pemerintah harus bertanggung jawab atas teror yang diakibatkan konversi minyak tanah ke gas.
Orang dalam Pertamina boleh saja menduga bahwa ini ada “permainan kotor” dalam pasar kompor gas. Ada sabotase dari pihak pesaing Pertamina, sang mantan penguasa tunggal pasar hilir gas, mungkin dari pemain dari India atau Negara asia lainnya. Logika konspiratif semacam ini dibenarkan dalam suasana liberalisasi migas. Kalau memang merugikan, kenapa tidak seluruh pasal UU Migas 2001 yang merugikan kita amandemen. Termasuk soal batas ekspor gas yang cuma 25%. Program konversi yang dimulai Pemerintah di tahun 2007 ini hanya retorika kosong belaka jika penguasaan Negara terhadap gas belum 100%. Secara politik kemudian, kita boleh berposisi untuk membatalkan seluruh kontrak ekspor gas alam dengan alasan yang paling rasional: Indonesia perlu seluruh gasnya untuk mensukseskan Program Nasional Konversi Gas sampai ke kampung-kampung.Akhirnya. Secara keilmuan program konversi minyak ke kompor gas memang menjanjikan kebaikan. Ini tak lain karena tingginya tingkat efisiensi penggunaan energi yang mungkin dicapai dan karakter ramah lingkungan yang mengiringi. Tetapi, setelah melihat banyaknya kasus ledakan tabung 3 kg, bisa-bisa ke depannya masyarakat lebih takut kepada teroris Elpiji, dibanding kepada teroris Amrozi. Pemerintah tolong siaga!
Rabu, 11 Januari 2012
'Betapa Buruknya Pemerintahan Sekarang ini’
Pada tahun 1969, seorang anak muda yang sedang gelisah, Soe Hok Gie, menulis sebuah artikel di harian Kompas. Ia memberi judul artikelnya “Betapa Tak Menariknya Pemerintah sekarang ini”. Di situ, ia menumpahkan segala kegelisahannya terhadap pemerintahan baru: Orde Baru.
Soe Hok Gie, seorang pemuda kritis, juga optimis, tiba-tiba gelisah. Ia, yang hatinya sangat dekat dengan rakyat jelata, sehari-hari mendengar kabar tentang oknum militer yang menampar rakyat biasa, tentang ngebut anak-anak ‘penggede’, atau tentang penyelundupan yang dilindungi.
Meski begitu, Soe Hok Gie masih menutup artikelnya dengan optimisme. Antara idealisme dan kenyataan memang tak selamanya ‘klop’. 32 tahun kekuasaan rejim orde baru jauh lebih buruk dari yang dibayangkan oleh Gie: korupsi merajalela, penggusuran dimana-mana, pemilu selalu dimanipulasi, dan banyak lagi. Boleh jadi, seandainya Gie bisa melihat keseluruhan rejim orde baru, mungkin ia akan menulis dengan judul “Betapa Biadadnya Pemerintahan Sekarang Ini”.
Bagaimana pula kalau Soe Hok Gie sempat menyaksikan rejim sekarang? Kita sulit membayangkan responnya ketika mendengar kabar pembantaian rakyat di Mesuji, Bima, dan berbagai tempat lainnya. Selain itu, darahnya juga akan seketika mendidih saat mendengar kabar: pelajar SMU dipenjara karena soal sandal, nenek tua dipenjara karena tiga butir kakao, dan nasib dua pemuda difabel yang dipenjara lantaran sembilan tandan pisang.
Sementara itu, di gedung parlemen dan istana negara sana, banyak koruptor yang tak tersentuh proses hukum. Lihat pula proses persidangan para koruptor kakap di pengadilan yang seolah-seolah disengaja untuk “lamban”. Nanti, kalau rakyat sudah tidak menyimak kasus itu, hakim akan menjatuhkan vonis ringan.
Hidup di bawah rejim sekarang sungguh tidak enak, bahkan sangat menakutkan. Bayangkan, gara-gara berbeda cara dalam beribadah, anda bisa dianggap sebagai ‘aliran sesat’ dan tempat ibadah anda akan dibakar. Nyawa anda pun bisa terancam. Akan tetapi, yang lebih tidak mengenakkan lagi adalah sikap abai pemerintah, seolah-olah peristiwa semacam itu ‘hal biasa’.
Soal kesejahteraan rakyat, apalagi, inilah yang paling buruk saat ini. Dulu sudah ada kaya dan miskin, tetapi jurangnya pemisahnya belum terlalu dalam. Sekarang, sejak pemerintah doyan menggunakan resep neoliberal, kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi sungguh luar biasa. Bayangkan, kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia itu setara dengan kekayaan 140 juta penduduk.
Kekayaan alam kita, yang sejak dulu dikenal sangat melimpah, tidak menjadi senjata memakmurkan rakyat. Sebagian besar kekayaan alam itu, seperti minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, bauksit, dan lain-lain, sudah berpindah tangan ke sejumlah perusahaan asing. Bahkan, demi mempermudah proses penyerahan kekayaan alam itu kepada pihak asing, raja-raja kecil di daerah pun diberi lisensi bernama “Ijin Usaha Pertambangan”. Jadinya, seperti dikatakan orang, diperkirakan 90% dari keuntungan eksplorasi SDA itu diangkut keluar negeri, sedangkan 10% sisanya masuk ke kantong penguasa.
Sudah begitu, rejim saat ini sangat doyan berutang. Terakhir, posisi utang Indonesia per September 2011 adalah Rp1.733,64 triliun. Alhasil, karena dibebani pembayaran cicilan utang, APBN tiap tahun selalu “cekak”. Anggaran untuk pembangunan dan program kesejahteraan rakyat sangat minim: anggaran untuk belanja modal hanya 17,62%, sedangkan belanja sosial hanya 6,67%.
Lebih menyebalkan lagi, rejim sekarang suka bermain popularitas dengan gaya politik pencitraan. Perhatian terhadap rakyat korban bencana, misalnya, ditunjukkan dengan aksi ‘presiden pindah ngantor’. Perhatian presiden dengan soal seni budaya ditunjukkan dengan Presiden bermain gitar dan mengeluarkan album.
Presiden SBY terlalu banyak menebar pesona, tapi minim kerja konkret. Ketika kaum tani di berbagai daerah ditembaki oleh Polisi, presiden kita tak bisa berbuat apa-apa. Ketika anak-anak negeri dipermainkan oleh hukum yang tak adil, Presiden juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak salah kemudian, ada orang yang mengatakan, “SBY orang yang berkuasa, tapi seolah tak punya kuasa.”
Seandainya Soe Hok Gie masih hidup dan melihat keadaan sekarang, entah judul apa yang diberikan kepada tulisannya. Pastinya, ia tidak cuma gelisah, tapi sangat marah dengan keadaan. Sehingga, judul tulisannya pun adalah ungkapan orang marah: “Betapa Buruknya Pemerintahan Sekarang!”
Senin, 09 Januari 2012
Tak Cukup Dengan Tampilan Sederhana!
Dalam dunia politik yang bak sinetron, perbedaan antara mana perilaku serius dan mana cari muka sangat tipis. Maklum, banyak diantara pelakon itu justru tidak merisih dengan berbagai puja-puji atas dirinya. Bukankah ada sinisme yang berkata: terkadang yang suka gembar-gembor itu adalah tukang jual obat.
Begitu pula dengan ulasan berulang-ulang tentang kehidupan sederhana sejumlah pejabat negara. Para pembaca pun berdecak kagum: di negeri ini ternyata masih banyak pejabat yang ‘merakyat’. Masalahnya: para pembaca baru menangkap satu sisi dari kehidupan sang pejabat.
Di masa ini, pejabat memang sangat berjarak dari rakyatnya. Gaya hidup mereka benar-benar berbeda dengan rakyatnya. Akibatnya, mereka pun seperti terasing di tengah rakyatnya sendiri. Karena itu, begitu bertemu dengan pejabat yang sederhana, maka pun seolah menemukan mimpi yang sudah lama menghilang.
Kami sangat mengapresiasi para pejabat yang memilih kesederhanaan. Dengan begitu, kita tak perlu khawatir anggaran negara habis dikorupsi. Selain itu, anggaran operasional aparatus negara menjadi berkurang, apalagi jika si pejabat tidak terlalu memusingkan gaji, mobil dinas, dan fasilitas lainnya.
Akan tetapi, apakah dengan hidup sederhana, seorang pejabat sudah pantas disebut merakyat? Kita tidak bisa mengambil kesimpulan sesederhana itu. Sebab, ada aspek lain yang perlu diperiksa lebih lanjut: keberpihakan politik si pejabat negara. Sejauh mana ia mendorong kebijakan-kebijakannya yang memihak kepentingan rakyat.
Ambil contoh, si pejabat A hidup sangat sederhana. Ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Setiap hari, jika ke kantor, ia menyetir sendiri mobilnya. Terkadang, tanpa disangka-sangka, ia berbaur dengan penumpang kereta rel, lalu singgah makan soto di warung pinggir jalan, sebelum mengikuti rapat kabinet.
Akan tetapi, rupanya, si pejabat A adalah seorang menteri pendukung privatisasi. Dengan menyembah efisiensi dan profesionalisme, ia tega membiarkan layanan publik sulit diakses oleh rakyat banyak. Ia juga membiarkan, bahkan mendukung, pemberangusan serikat buruh yang menentang privatisasi. Padahal, di mata banyak aktivis pergerakan, privatisasi adalah bagian dari proyek neokolonialisme.
Di sini letak masalahnya: si pejabat A memang terlihat sederhana, tapi ia adalah pendukung setia neokolonialisme. Sementara, kita tahu, penyebab keterpurukan bangsa selama ini adalah proyek neokolonialisme. Selama beratus-ratus tahun, dengan pengecualian beberapa puluh tahun di era Bung Karno, kekayaan alam dan keuntungan ekonomi di atas bumi Indonesia selalu mengalir keluar.
Ada pula pejabat B, yang bekas pemimpin lembaga anti-korupsi, juga digembor-gemborkan dengan kehidupannya yang sederhana. Menurut isu yang beredar, si pejabat B pun turun pangkat lantaran aksinya yang bikin gerah koruptor. Ia juga sangat pedas ketika mengeritik gaya hidup politisi yang sangat mewah. Ia pun mendapat puja- puji lantaran aksinya itu.
Tapi, sebetulnya, si pejabat B tidak punya prestasi memberantas korupsi. Ia bertindak tak ubahnya “wayang penguasa”. Banyak kasus korupsi yang besar, khususnya yang melibatkan rejim berkuasa, tak kuasa disentuhnya. Ia pun diam seribu bahasa menyaksikan milyaran dollar keuntungan ekonomi nasional mengalir keluar negeri.
Kita memang butuh pemimpin sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan itu tidak gunanya jikalau pemimpin tersebut punya kebijakan ekonomi-politik yang merugikan kepentingan rakyat banyak. Kita butuh pemimpin yang seperti Bung Karno dan Bung Hatta: sederhana dan anti-kolonialisme/imperialisme. Kita butuh pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Kamis, 05 Januari 2012
Hakekat Reformasi Agraria
Konflik agraria yang terjadi di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di seluruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan.
Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan. Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?
Definisi Reformasi Agraria
Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).
Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.
Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.
Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19), Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969), Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.
Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria tersebut memiliki corak yang berbeda pada masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata. Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba dan Venezuela.
Membangun Harapan Di Tahun 2012
Kita sudah menginjak tahun 2012. Banyak harapan yang tersemai di tahun baru ini. Setidaknya, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, kehidupan di tahun 2012 harus jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tahun 2012 harus memberi kepastian akan kehidupan mereka. Setidaknya, negara harus menjamin hak-hak rakyat yang bersifat dasar: hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak berserikat dan menyatakan pendapat, hak untuk ikut serta dalam kehidupan politik, dan hak beragama atau kepercayaan tertentu.
Mari melihat sekilas kehidupan rakyat di tahun 2011. Sepanjang tahun, kehidupan rakyat sangat sulit. Sebagian besar diakibatkan oleh kebijakan neoliberal yang makin menderas. Harga-harga sembako terus melangit karena pemerintah lepas tangan terhadap pasar. Produk pertanian dalam negeri membusuk karena diserbu oleh produk impor. Industri dalam negeri terus berjatuhan karena pemerintah meliberalkan perdagangan. Nilai real upah buruh kian merosot karena pemerintah setuju mempraktekkan politik upah murah. Layanan publik serba mahal karena perusahaan-perusahaan negara sudah dijual kepada swasta. Masih banyak lagi yang tidak tersebutkan…
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, perusahaan asing makin lahap dalam menguras kekayaan alam kita: minyak, batu bara, gas, tembaga, emas, bauksit, dan lain-lain. Mereka juga merampas tanah-tanah rakyat, mencemari lingkungan kita, dan menggunduli hutan kita. Begitu rakyat memprotes hal itu, pemerintah hanya menjawab singkat: “jangan ganggu investasi. Inilah motor pembangunan!”
Tahun 2011 adalah tahun neokolonialisme 100%. Rejim SBY-Budiono doyan betul mengikuti jalan neoliberal. Padahal, seperti banyak diperingatkan banyak cendekiawan, neoliberal merupakan jubah baru dari neokolonialisme.
Karena itu, menghadapi tahun 2012, kami menjadi sangat khawatir. Pasalnya, kita masih menapaki tahun 2012 dengan rejim dan haluan ekonomi yang masih sama: neokolonialisme. Saya menjadi khawatir, tahun 2012 justru akan menjadi tahun intensifikasi neokolonialisme.
Kekhawatiran kami kian menjadi-jadi, tatkala Presiden SBY menyampaikan pidato menyambut tahun 2012. Dalam pidatonya yang cukup singkat, SBY mengimbau agar setiap kalangan untuk menciptakan “kestabilan politik”. Singkatnya, Presiden meminta agar jangan lagi ada “kegaduhan politik”. Ironisnya, pidato itu disampaikan atas nama rakyat Indonesia.
Himbauan SBY di atas adalah ironi. Bagaimana mungkin orang disuruh tenang, sementara kebijakan negara membiarkan pihak kolonialis menjarah kesejahteraan rakyat secara brutal. Bagaimana mungkin rakyat disuruh diam, sementara tanah-tanah mereka dirampas oleh perusahaan asing. Bagaimana mungkin kita tidak mengeluarkan suara protes, jika rejim berkuasa membiarkan kolonialisme merampok seluruh kekayaan alam dan sumber-sumber kemakmuran rakyat kita.
Artinya: jika SBY menyuruh kita diam, itu berarti dia menghendaki agar penindasan terhadap rakyat jangan diganggu. Dia menghendaki penembakan petani di berbagai daerah tidak usah dipersoalkan. Ia menghendaki agar penindasan terhadap pemogokan buruh dibiarkan saja.
Himbauan SBY membawa pesan sangat dalam: jangan ada kegaduhan politik, supaya proyek neokolonialisme berjalan terus. Yang dibutuhkan oleh SBY adalah ketenangan dan kestabilan bagi proyek neokolonialisme. Ini sama persis dengan gaya gubernur jenderal Hindia-Belanda dulu.
Pidato SBY itu hendak membunuh harapan kita di tahun 2012. Kita perlu tegaskan: selama praktek neokolonialisme masih berlangsung, maka tidak mungkin terjadi perubahan dalam kehidupan rakyat kita. Oleh karena itu, menapaki tahun 2012 ini, mari menggelorakan perlawanan terhadap neokolonialisme. Mari gelorakan terus “Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945!”
Langganan:
Postingan (Atom)