Sabtu, 22 Oktober 2011
Usir Freeport dari Tanah Papua, Tarik Pasukan Non-Organik TNI/Polri!
Seakan tidak berkesudahan, kekerasan beruntun kembali terjadi di Papua. Pada hari Senin (10/10) lalu, Petrus Ayamiseba, seorang buruh di PT. Freeport, tewas ditembak polisi dalam rangkaian aksi pemogokan di perusahaan tambang tersebut. Beberapa hari kemudian, tepatnya kemarin (19/10), aparat gabungan TNI-Polri membubarkan dengan paksa/kekerasan acara Konggres Rakyat Papua, di distrik Abepura, Jayapura. Dalam kejadian ini enam orang ditemukan tewas, puluhan luka-luka, dan hampir dua ratus orang ditahan aparat. Lalu menyusul itu, kembali terjadi penembakan oleh “orang tak dikenal” yang menewaskan tiga orang karyawan PT. Freeport di Timika.
Dalam hal ini kita seperti melihat tiga atau beberapa hal yang terpisah, yaitu; (1) masalah keberadaan pemogokan buruh PT. Freeport, (2) kegiatan Konggres Rakyat Papua yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan untuk “Memerdekakan Papua”, dan (3) hubungan yang tampak di antaranya: yakni sama-sama terdapat penggunaan kekerasan aparat, baik terhadap buruh yang melakukan pemogokan maupun terhadap peserta konggres yang dianggap melakukan makar.
Pihak pemerintah mempunyai penjelasan sendiri terhadap masing-masing persoalan. Mengenai penembakan terhadap buruh Freeport 10/10 lalu, hingga hari ini tidak ada penjelasan resmi. Bahkan, Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, mengatakan hal tersebut sebagai “murni kecelakaan” (inilah.com, Selasa, 11/10). Sementara mengenai pembubaran Konggres Rakyat Papua, pihak pemerintah melalui Pangdam Cendrawasih mengatakan alasan pembubaran adalah karena kegiatan ini “mengarah makar”.
Mungkin benar, bahwa masing-masing persoalan tersebut di atas dapat dibedah secara terpisah. Namun rentetan kejadian ini sangat penting untuk didudukkan pada satu fondasi permasalahan yang sama. Pemogokan buruh, kekerasan oleh aparat, dan tuntutan kemerdekaan harus dilihat sebagai dampak atau akibat dari penghisapan brutal yang dilakukan korporasi raksasa asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Papua adalah tanah yang kaya dari sudut penilaian ekonomi-politik yang berlaku dewasa ini (kapitalisme). Di tanah ini tersedia melimpah bahan baku bagi industri bernilai tinggi seperti emas, tembaga, minyak, gas, uranium, hutan, dan lain-lain atau kandungan bumi secara keseluruhan. Di atas tanah kaya ini lah kepentingan modal menuntut kehadiran “anjing penjaganya” yaitu aparatus kekerasan baik sipil maupun militer.
Kehadiran Freeport di Papua sejak 44 tahun silam senantiasa digardai oleh pasukan TNI-Polri. Kedua institusi negara, yang seharusnya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ini, justru bertindak kejam terhadap rakyat Papua. Begitu banyak anak bangsa sendiri yang telah dikorbankan demi mengamankan kepentingan modal ini. Tak terbilang juga, rupa kekejaman yang dilakukan demi modal asing itu, mulai dari penculikan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk perendahan martabat kemanusiaan lainnya.
Celakanya, dalam tindakan-tindakan aparat tersebut sering ditempelkan istilah “menjaga keutuhan NKRI”, sehingga seolah-olah TNI/Polri bertindak demi kepentingan nasional. Seringkali politisi sipil juga melegitimasi atau mendorong terjadinya tindakan tersebut. Perlu dicatat, bahwa yang dilakukan aparat bukanlah nasionalisme patriotik seperti ketika perang kemerdekaan melawan kolonial (modal asing). Sebaliknya, mereka justru menjaga kepentingan modal asing dengan menembaki bangsa sendiri, hanya demi segepok bayaran. Tindakan biadab yang anti-nasionalis, anti-patriotik oleh TNI-Polri ini, sudah terjadi sejak mereka “menghabisi” Sukarno dan kekuatan politik anti-imperialis tahun 1965-1968.
Tiap kekejaman hanya membuat rakyat Papua semakin jauh dari cita-cita persatuan nasional melawan imperialisme. Saat ini tuntutan merdeka membahana dan terancam menjadi kenyataan. Bila rakyat Indonesia benar menganggap rakyat Papua sebagai saudaranya, benar mencintai mereka, dan menginginkan mereka berjuang bersama menghadapi imperialisme, maka tidak ada pilihan kecuali membangun solidaritas, melakukan hal sebaliknya dari yang dilakukan rezim neoliberal-militeristik terhadap rakyat Papua. Sebagai langkah awal, rakyat Indonesia harus mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan kekerasan, dan menarik seluruh pasukan non organik dari tanah Papua. Sekali lagi, persoalan Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara kekerasan!
Keberadaan Freeport dan kepentingan korporasi yang menjadi biang kekerasan pun harus ditinjau secara serius, bila perlu diusir dari Tanah Papua.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar