Selasa, 01 November 2011
KPK dan Kepentingan Bangsa
KPK disebut-sebut disetir oleh lembaga asing. Isu itu sebetulnya sudah lama berseliweran, tetapi kemudian divocalkan oleh Fachry Hamzah, politisi dari PKS itu. Bagi sebagian orang, lontaran politisi kelahiran Sumbawa, NTB, itu barangkali untuk membela sebuah kepentingan politik partainya. Maklum, beberapa kawan separtainya sedang menjadi target operasi KPK.
Tetapi, tanpa bermaksud menjadi “pembela DPR”, ada baiknya kita tidak reaksioner melihat pendapat itu dan melihatnya sebagai bentuk “kritisisme”. Apalagi, jika benar KPK menerima banyak bantuan dana asing, maka tentu hal itu akan berpengaruh pada keberpihakan KPK dalam memberantas korupsi.
Pada tahun 2009, misalnya, KPK memperoleh hibah sebanyak Rp 140,6 miliar. Bantuan ini didapatkan dari Badan Bantuan Pengembangan Internasional Amerika (USAID) sebesar Rp 68,7 miliar, Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp 1,2 miliar, GTZ Jerman sebesar Rp 26,5 miliar, Danish International Development sebesar Rp 12,8 miliar, dan Uni Eropa sebesar Rp 35,3 miliar.
Akan tetapi, Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam klarifikasinya menegaskan bahwa bantuan pihak asing itu bukan dalam bentuk uang, tapi pelatihan-pelatihan. Ia sendiri tidak menjelaskan, atau setidaknya memberi jaminan, bahwa bantuan itu tidak akan mempengaruhi independensi KPK.
Tetapi, beberapa bulan terakhir, kita menemukan bahwa KPK semakin lembek dan terkesan tebang pilih dalam memberantas korupsi. Kita bisa melihat bagaimana KPK mengabaikan desakan publik untuk menuntaskan kasus bank century. Bahkan KPK tidak pernah memanggil langsung dan memeriksa dua nama yang disebut-sebut terlibat skandal ini, yaitu Sri Mulyani dan Budiono.
Juga, adanya temuan 14 perusahaan asing yang mengemplang pajak, sampai sekarang belum jelas sejauh mana penyelidikannya oleh KPK. Padahal, pengemplangan pajak itu sudah berlangsung selama lima kali pergantian menteri.
Kita juga melihat kemandulan KPK dalam menangani kasus-kasus besar, seperti kejahatan-kejahatan bailout, privatisasi Krakatau Steel, BLBI dan mafia pajak Gayus Tambunan.
Bagi kami, KPK saat ini mengidap sejumlah kelemahan mendasar:
Pertama, politik anti-korupsi yang dijadikan pakem oleh KPK sangat kental dengan aroma politisasi. Jadi, isu korupsi dijadikan sebagai alat untuk menyandera lembaga politik tertentu atau memukul lawan-lawan politik.
Negeri imperialis, melalui lembaga-lembaga donornya, juga berkepentingan menumpangkan kepentingan mereka dalam isu anti-korupsi ini, khususnya untuk menyandera lembaga politik dan melumpuhkan kekuatan-kekuatan politik.
Makanya, jangan heran, ketika banyak kaum liberal yang berteriak anti-korupsi, maka sasaran mereka adalah partai politik dan institusi-institusi politik. Ini sangat berguna untuk menanamkan depolitisasi kepada massa, dan sekaligus melumpuhkan lembaga politik tersebut. Dengan demikian, mereka bisa menjalankan agenda neoliberal tanpa ancaman dari kekuatan politik manapun.
Kedua, pemilihan pimpinan KPK sangat tidak demokratis. Sejauh ini, ketentuan pemilihan ketua KPK mensyaratkan bahwa presiden mengajukan sejumlah nama, lalu diseleksi dan dipilih oleh DPR, dan selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.
Karena model pengangkatannya seperti itu, KPK seringkali menjadi alat politik diantara dua institusi politik tersebut untuk saling menyandera.
Menurut kami, pemilihan pimpinan KPK mesti didemokratiskan. Caranya: seluruh pimpinan KPK dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini bisa dipaketkan dalam sebuah pemilu khusus untuk memilih pejabat kehakiman/peradilan di semua level (peradilan negeri, tinggi, MA), mahkamah konstitusi, dll.
Selain itu, harus diberlakukan syarat-syarat untuk mencari calon-calon yang sesuai dengan harapan: (1) Para pendaftar tidak boleh terdaftar dalam partai politik manapun setahun menjelang pemilihan, (2) Sangat menguasai dan teruji dalam bidang pekerjaan yang akan digelutinya, dan (3) Kandidat harus membuktikan tidak pernah membela orang yang melakukan kejahatan terhadap negara dan tidak pernah membela orang yang terlibat korupsi.
Ketiga, KPK belum memperlihatkan kinerja pada upaya pencegahan korupsi. Dalam hal ini, ketika berbicara pencegahan, maka KPK mestinya membangkitkan partisipasi rakyat banyak untuk mencegah terjadinya korupsi.
Cita-cita nasional kita adalah masyarakat adil dan makmur. Seharusnya, sebagai alat negara, KPK bekerja menurut cita-cita nasional itu. Salah satu bentuknya adalah memberantas korupsi tanpa ampun dan tanpa pandang bulu, sebagai cara untuk mengamankan anggaran negara guna pembangunan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar