Rabu, 23 November 2011
Kaum Tani Dan Pasal 33 UUD 1945
Tanah tidak boleh dijadikan sebagai alat eksploitasi. Tanah harus menjadi milik para petani! Tanah harus menjadi milik para petani! tanah harus menjadi milik mereka yang benar-benar menggarapnya, bukan mereka, yang hanya ongkang-ongkang, memaksa orang lain bekerja.
Bung Karno mengemukakan ini, dengan nada suara yang tegas, sebelum ia mengundangkan UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960. Dalam UUPA 1960 itu disebutkan, bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
UUPA sendiri hanya turunan dari pasal 33 UUD 1945. Dalam UUPA 1960, agrarian tidak artikan sebatas tanah, melainkan diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada sebuah penegasan yang sangat jelas bahwa rakyat-lah pemilik sah keseluruhan kekayaan di bumi Indonesia ini.
Tetapi pemerintahan sekarang justru mengabaikan UUPA 1960 itu. Tanah tidak lagi dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, tapi telah dialihkan kepada segelintir pemilik modal (asing dan dalam negeri). Bahkan melegalisasi berbagai bentuk perampasan tanah itu melalui lusinan peraturan: UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan. Terakhir, jika tak ada aral melintang, SBY pun akan mengesahkan RUU pengadaan tanah.
Aktivis Institute For Global Justice (IGJ), Salamudding Daeng, mengklaim bahwa jumlah tanah Indonesia yang dikuasai oleh pihak asing sudah mencapai 175 juta hektar. Dari 9,1 juta hektar kebun sawit di Indonesia, itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan group saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektar hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan.
Pemerintahan SBY, yang mengabaikan pasal 33 UUD 1945, membawa perekonomian Indonesia menjadi liberal. Salah satu dampak liberalisasi di sektor pertanian adalah kebijakan liberalisasi impor pangan. Bukan hanya beras yang diimpor, tetapi produk pangan yang lain pun, semisal kedele dan sejenisnya, kini sudah diimpor oleh pemerintah.
Padahal, jika kita lihat kembali filosofi pasal 33 UUD 1945, pertanian rakyat mau dibawa ke pertanian modern. Sehingga, demi menjami hasil produksi dan memberi dasar untuk industrialisasi, pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan pendirian koperasi-koperasi untuk menjamin dan mengolah hasil produksi petani.
Ekonomi pertanian sekarang sangat mirip dengan jaman kolonial. Kalaupun ada komoditi pertanian yang dikembangkan, maka itupun karena berorientasi pasar internasional dan tidak ada perspektif untuk mengolahnya di dalam negeri. Semisal sawit, yang kini menjadi komoditi andalan Indonesia untuk ekspor. Ada yang ironis di situ: satu sisi Indonsia adalah pengekspor sawit terbesar di dunia, tetapi di sisi lain, harga minyak goreng di dalam negeri sangat mahal dan kadang membuat rakyat menjerit.
Tidak ada satupun negara di dunia yang bisa bertahan tanpa membangun pertanian. Pembangunan pertanian sangat penting untuk menjamin ketahanan pangan nasional dan memberi dasar bagi proyek industrialisasi.
Oleh karena itu, dalam rangka membangun kembali sektor pertanian kita, pemerintah mesti menjalankan sepenuh-penuhnya UUPA 1960 dan pasal 33 UUD 1945. Hanya dengan begitulah taraf hidup kaum tani dan seluruh rakyat jelata Indonesia bisa meningkat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar