Sabtu, 12 November 2011

Ruyati Dan Duka Bangsa Indonesia



Beberapa Bulan Lalu kita di kagetkan kabar dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Ruyati binti Satubi, Desa Sukaderma, Kecamatan Sukatani, Bekasi, dihukum pancung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Kabar itu sontak membuat perasaan nasional kita terluka: bukan semata-mata karena Ruyati orang Indonesia, tetapi juga karena pemerintah Indonesia tidak berbuat apapun untuk menghentikan hukum barbar itu.
Lebih menyedihkan lagi, pihak KBRI di Riyadh, Arab Saudi, tidak diberitahu perihal hukum pancung terhadap Ruyati itu. Fakta ini menjelaskan betapa pemerintah Arab Saudi memandang remeh hubungan diplomatik dengan Indonesia, sekaligus merendahkan hak warga asing untuk mendapatkan perlindungan dari hukum internasional.
Kabar duka tentang hukum pancung Ruyati datang hanya empat hari setelah SBY menyampaikan pidato memukau di depan Konferensi ke-100 Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss. Dalam pidatonya, SBY antara lain menyinggung soal perlindungan buruh migran.
Sang Presiden menyatakan bahwa mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya. Pidato menggebu-gebu Presiden SBY itu mendapat standing ovation. Sayang, ibarat kata pepatah “ jauh panggang dari api”, kata-kata yang diucapkan SBY sangat bertolak-belakang dari kenyataan.
Kasus Ruyati memperlihatkan dua hal kepada kita. Yang pertama, kita diperlihatkan tentang bagaimana seorang warga negara Indonesia berjuang hidup-mati di tengah bahaya, di tengah vivere pericoloso, di sebuah negara yang dikenal bengis dan kejam terhadap TKI, tanpa mendapat perlindungan dari pemerintahannya sendiri. Yang kedua, kenekatan Ruyati berangkat ke Arab Saudi, meskipun sudah melewati umur yang dibolehkan peraturan resmi, menjelaskan tentang betapa sulitnya hidup dan survive di negara bernama Indonesia.
Kasus Ruyati adalah yang kesekian. Kita tahu, pada akhir tahun 2010 lalu, seorang TKI bernama Sumiati disetrika dan digunting mulutnya oleh sang majikannya. Itu juga terjadi di Arab Saudi. Lalu beberapa bulan kemudian, Hariyatin, TKI asal Blitar, juga disiksa oleh majikan hingga matanya buta. Ruyati pun terpaksa membunuh majikannya karena berusaha membela diri. Untuk diketahui, Ruyati sudah berkali-kali mendapatkan perlakuan kasar dari sang majikan yang tinggi hati dan arogan itu.
Mengingat bahwa kejadian semacam itu berulang-ulang, dan hanya sedikit yang diproses secara hukum, menjelaskan bahwa perlindungan terhadap TKI di Arab Saudi sangatlah minim sekali. Kejadian itu juga memperlihatkan kepada kita dengan terang-benderang tentang lemahnya posisi diplomatik Indonesia dihadapan Arab Saudi. Kita sudah mengalami krisis kedaulatan nasional yang teramat parah.
Padahal, jumlah TKI di Arab Saudi mencapai 2,1 juta orang, dan menyumbangkan devisa kepada negara sedikitnya 7,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 61 triliun tahun 2010.
Dengan demikian, kita harus melihat bahwa duka mendalam dan simpati rakyat Indonesia terhadap Ruyati sebagai bentuk keprihatinan ‘atas terpuruknya kedaulatan bangsa Indonesia dan hilangnya tanggung jawab pemerintah RI terhadap rakyatnya sendiri’.
Jelas, dalam kasus Ruyati ini, kita patut melemparkan kesalahan kepada: Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Muhaimin Iskandar, dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Muhammad Jumhur Hidayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar