Senin, 28 November 2011

Tong Kosong Nyaring Bunyinya



Ada yang tak lazim di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin, 22 November 2011. Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris tiba-tiba mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Kepada wartawan, politisi Partai Golkar itu mengaku ingin memeriksa Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Fahmi Idris adalah salah satu politisi yang “tersengat” oleh nyanyian pedas Busyro Muqoddas beberapa hari terakhir. Kata Busyro, menteri-menteri yang berasal dari parpol cenderung korup dan menjadikan pos kementeriannya sebagai pundi-pundi parpol. Pernyataan ini kontan saja membuat tidak enak telinga pejabat dan bekas pejabat menteri dari parpol.
Fahmi Idris, politisi Golkar yang pernah menjadi Menteri Perindustrian, adalah satu contoh menteri yang tidak terkait kasus korupsi apapun dan mengaku tidak menggunakan kementeriannya sebagai pundi-pundi parpol. Sebaliknya, menurut Fahmi Idris, ada pula menteri non-parpol yang divonis bersalah di pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi).
Busyro Muqoddas pun terpental karena ucapannya sendiri. Ia terjebak dengan logika berfikirnya yang suka melakukan overgeneralisasi. Busyro pun digugat ketidakmampuannya selaku pimpinan KPK dalam mengejar dan menangkap sejumlah pelaku korupsi. Salah satunya adalah Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Tidak hanya itu, KPK juga tidak punya gigi saat mengusut sejumlah kasus korupsi besar, khususnya yang melibatkan partai berkuasa dan pejabat di lingkaran istana. Sebut saja tiga yang terkenal: Sri Mulyani dan Budiono (skandal Bank Century), Andi Mallarangen (suap wisma atlet), dan Muhaimin Iskandar (dana PPDIT).
Kasus lainnya adalah kasus Nazaruddin, yang diduga juga melibatkan banyak petinggi Partai Demokrat. Kita belum mendengar sedikitpun kemajuan dalam pengusutan kasus ini. Padahal, sebelumnya kasus ini sudah menyeret sejumlah nama petinggi partai demokrat, seperti Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh.
Survei internasional menempatkan Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah dalam penanganan kasus korupsi. Salah satu penyebabnya adalah KPK tidak sanggup memerangi korupsi yang berpusat di lingkaran kekuasaan. Bahkan sebuah bola liar yang dimuntahkan Nazaruddin menyebut nama seorang pimpinan KPK dalam kasusnya.
Di tengah hujan kritik yang menimpa institusinya, ada baiknya Busyro Muqoddas berkonsentrasi menjalankan pekerjannya. Akan lebih baik jika Busyro tidak sekedar berbunyi, tetapi langsung segera mengusut dan menangkap menteri-menteri yang yang menggunakan kementerian sebagai pundi-pundi parpol.
Juga, tanpa mengabaikan kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik, ada baiknya KPK juga mengusut puluhan perusahaan asing yang menunggak pajak. KPK juga mesti mengusut berbagai “tipu-daya” perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam bangsa kita dan merugikan kepentingan nasional.
Jika tidak sanggup menjalankan berbagai hal di atas, kita bisa saja menempelkan label “tong kosong nyaring bunyinya” kepada Busyro Muqoddas. Jangan-jangan dia cuma mencari popularitas, supaya bisa mengincar jabatan politik. Atau, jangan-jangan dia sengaja ditempatkan sebagai jubir imperialis untuk proyek “depolitisasi” di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar