Jumat, 30 Desember 2011
Absennya Keadilan (sebuah Refleksi Akhir Tahun)
Di negeri bernama Indonesia, rakyat kecil mondar-mandir mencari keadilan. Mereka mengetuk pintu-pintu pengadilan. Tetapi, bukan keadilan yang mereka dapatkan, melainkan penghinaan dan ketidakadilan. Keadilan seolah bukan haknya orang-orang kecil dan lemah di negeri ini.
Tidak terhitung jumlah orang miskin, umumnya dengan kesalahan yang ringan, menjadi korban ketidakadilan lembaga-lembaga peradilan dan aparat penegak hukum di negeri ini. Sebaliknya: tidak sedikit pejabat korup yang dengan gampangnya lolos dari jaring penegak hukum yang memang tak bisa berlaku adil ini.
Kita tengok nasib Anjar Andreas Lagaronda, 15 tahun, seorang pelajar SMU di kota Palu, yang terancam diganjar hukuman penjara lima tahun karena dituding mencuri sandal seorang anggota Polisi. Padahal, harga sandal itu tidak lebih dari Rp35 ribu.
Kisah serupa juga terjadi tahun 2009 lalu. Mbok Minah, seorang nenek berusia 50-an tahun di Banyumas, Jawa Tengah, juga harus rela dipenjara lantaran dituding mencuri tiga biji kakao.
Sekarang, kita coba tengok bagaimana sulitnya aparat penegak hukum ini menangkap koruptor. Meski sudah ada dugaan dan bukti-bukti awal, tetapi aparat penegak hukum belum tentu langsung menangkapnya. Seribu alasan pun dimunculkan: bukti-bukti belum lengkap, masih butuh penyidikan, tersangka sakit, dan lain-lain.
Kita patut bertanya: kenapa pedang keadilan terlalu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul saat menghadap ke atas? Bukankah, sebagai negara hukum, penegakan hukum kita mestinya lebih tajam ke atas.
Absennya keadilan juga dirasakan para pencari keadilan di lembaga-lembaga politik: pemerintah dan parlemen. Ada banyak rakyat yang mengadu, karena hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang oleh pemilik modal, tapi terkadang diabaikan dan tidak digubris oleh pemerintah.
Lihatlah para petani Pulau Padang di depan DPR. Mereka sudah berminggu-minggu bertahan di tempat tersebut. Tetapi, sampai sekarang, mereka belum mendapat kepastian mengenai tuntutan mereka: apakah dipenuhi atau (kembali) diabaikan oleh pemangku kebijakan.
Coba bayangkan jika yang datang ke DPR adalah delegasi pengusaha. Tentu, tanpa harus menunggu lama, apalagi sampai menginap, mereka akan mendapat jawaban memuaskan dari anggota dewan terhormat. Bahkan, jika saku anggota dewan itu diselipi amplop, maka hasilnya pun tambah memuaskan.
Absennya keadilan tak bisa dipisahkan dari kapitalisme. Mana mungkin sebuah sistem yang menopang diri dari logika mencari untung (profit) bisa berbicara “keadilan untuk semua”. Mana mungkin sebuah sistem yang telah melahirkan kesenjangan, dan sengaja memelihara kesenjangan itu, bisa berbicara soal “keadilan sosial”. Apalagi di jaman neoliberal seperti sekarang, yang oleh banyak intelektual digelari sebagai “kapitalisme tanpa sarung tangan”.
Ini adalah jaman tanpa ideologi. Proses penyelenggaraan negara ini pun tidak punya pijakan ideologi dan politik. Jadi, jangankan berbicara soal sistim hukum yang adil, bicara arah masa depan bangsa kita tak punya pijakan.
Belum lagi, proses perekrutan penegak hukum di Indonesia juga bermasalah. Sudah jadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi seorang hakim, jaksa, maupun polisi, anda harus siap-siap menyogok sana-sini. Reformasi pun belum berhasil menyapu bersih praktek koruptif, kolutif, dan nepotisme dalam institusi-institusi tersebut
Dan, lagi-lagi jika ditanya apa solusinya? Kami hanya bisa menjawab: kita harus melakukan perombakan radikal di segala bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain-lain. Mungkin, inilah yang disebut revolusi.
Kamis, 29 Desember 2011
Mendesak, Pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria
Penghujung tahun 2011 ditutup dengan meletusnya sejumlah kasus agraria di Indonesia. Ibarat letusan gunung es, berbagai kasus itu menyingkap betapa buruknya tata-kelola agraria nasional. Kita pun menjadi tahu mengapa berbagai konflik agraria itu bisa muncul dan tak kunjung selesai.
Ada satu hal yang tak bisa diabaikan di sini: tata kelola agrari kita, termasuk pengelolaan sumber daya alam di atas dan yang terkandum di dalamnya, masih sangat berwatak kolonial. Pemerintah kita, seperti juga pemerintah kolonial di masa lalu, sangat memprioritaskan modal swasta dalam pemanfaatan tanah dan eksploitasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Di sini, pemerintah terlihat begitu gampang menerbitkan surat ijin eksplorasi/eksploitasi kepada pihak pengusaha swasta, sementara hak-hak rakyat sangat diabaikan. Terkadang, karena tanah tersebut sudah lama dikuasai oleh rakyat, pemerintah menggunakan manipulasi legalitas untuk mengusir rakyat dari lahan-lahan dan pemukiman mereka. Bahkan, jika terjadi perlawanan dari pihak rakyat, maka penggunaan apparatus kekerasanlah sebagai solusinya.
Dalam konstitusi kita, UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (3) disebutkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini kemudian diturunkan dalam UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang menjamin akses seluruh rakyat terkait pemilikan tanah.
Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
Sayang, selama 51 tahun berlalu, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Bahkan, sejak jaman orde baru hingga sekarang, banyak sekali ketentuan produk pemerintah yang menabrak ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Sebut saja UU nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan; pada prakteknya, ketentuan ini menjadi pintu dibolehkannya pemodal swasta mengusai dan mengeksploitasi hutan. Ketentuan ini diperbaharui dan makin diper-liberal dengan keluarnya UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Sejak reformasi hingga sekarang, keluar begitu banyak UU yang makin mempermudah pemodal, baik swasta nasional maupun asing, untuk menguasai tanah dan mengeksploitasi sumber daya alam di atasnya. Sebut saja UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Di dalamnya, ada ketentuan pengusaha pertambangan mendapatkan ijin usaha pertambangan melalui bupati atau kepala daerah setempat.
Ini kian diperparah dengan pemberlakuan otonomi daerah. Proyek “otoda” telah menjadi papan seluncur pengusaha pertambangan untuk mendapatkan ijin pertambangan dengan menyogok kepala daerah korup. Inilah yang terjadi di kecamatan Lambu, Bima, dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Dapat disimpulkan: tata-kelola agraria yang berwatak kolonial dilegalisir oleh UU dan kebijakan hukum pemerintah. Meskipun hampir seluruh UU itu bertabrakan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
Dengan demikian, atas nama UU berbau kolonialis itu, pemerintah seolah punya legitimasi hukum untuk mengusir rakyat dari tanah dan sumber-sumber penghidupannya. Dan, dalam proses penyelesaian konflik agraria, instansi pemerintah (BPN, Menteri Kehutanan, DPR, dll) merujuk kepada UU pro kolonialis itu.
Dapat disimpulkan: keberadaan BPN, Pemerintah Daerah, Menteri terkait, bahkan Presiden sulit diharapkan bisa menyelesaikan konflik agraria. Penyebabnya, institusi negara itu berpegang teguh pada azas umum tata-kelola agraria yang pro-kolonial. Maka, jangan heran, institusi pemerintah selalu berpihak kepada pengusaha dan memilih berlawanan dengan rakyat.
Menurut kami, penyelesaian konflik agraria tidak bisa lagi disandarkan kepada institusi pemerintah yang ada saat ini. Bagi kami, kita perlu membentuk sebuah panitia khusus untuk menyelesaikan persoalan agraria ini: Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.
Tugas pokok panitia ini adalah menyelesaikan berbagai konflik agraria di daerah dengan berpatokan kepada Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Panitia ini harus melibatkan partisipasi rakyat, khususnya organisasi-organisasi petani dan organisasi rakyat lainnya. Keanggotan panitia ini bisa meliputi: pemerintah, tim ahli hukum/akademisi, dan organisasi petani.
Pendekatan utama penyelesaian agraria melalui kepanitiaan ini adalah dialog. Dengan demikian, TNI/Polri tidak diperkenankan lagi terlibat dalam konflik agraria. Penggunaan kepolisian hanya dimungkinkan jika ada pihak yang menolak melaksanakan keputusan panitia nasional.
Cukup sudah darah rakyat yang tertumpah karena konflik agraria. Cukup sudah tanah rakyat dirampas oleh pemilik modal. Cukup sudah penggusuran rakyat karena konflik agrarian. Sudah saatnya kita konsisten dengan UUD 1945 dan UUPA: Tanah untuk rakyat, bukan sebagai alat penghisapan!
Kamis, 22 Desember 2011
Semangat Hari Ibu
83 tahun yang lalu, tepatnya 22 Desember 1928, ribuan lebih perempuan berkumpul di Jogjakarta. Para perempuan, mewakili 30 lebih organisasi dari berbagai daerah, merumuskan cita-cita dan kewajiban kaum perempuan dalam perjuangan anti-kolonial.
Melihat kongres perempuan itu, kita tidak bisa melihatnya terpisah dengan sejarah panjang perjuangan anti-kolonial Indonesia, khususnya sumpah pemuda. Kongres perempuan I hanya terpisah dua bulan dari Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda juga sangat mewarnai semangat Kongres Perempuan. Kongres itu telah menjadi tonggak bersatunya kaum perempuan dalam perjuangan anti-kolonial dan perjuangan pembebasan perempuan.
Bung Karno, yang berusaha mengapresiasi momen kongres itu, tidak menyembunyikan harapannya agar kaum perempuan mengambil peran dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Soekarno-mengutip pejuang wanita India, Sarojini Naidu, menyampaikan keharusan perempuan berada di gerbang maut untuk membuat bangsa.
Pada tahun 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit yang menjadikan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Soekarno sendiri sejak awal menyebut kongres perempuan itu sebagai “Kongres Ibu”. Tetapi, sejak orde baru hingga sekarang, sejarah kongres perempuan menghilang dari makna “Hari Ibu”.
Sekarang, setelah 83 tahun peristiwa berlalu, kondisi perempuan Indonesia tidak berbeda jauh dengan jaman kolonial. Neoliberalisme telah menjauhkan mayoritas perempuan dari akses kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, perumahan layak, dan lain-lain.
Situasi itu kian diperparah oleh kenyataan sosial bahwa soal-soal domestik adalah masih dianggap tanggung-jawab kaum perempuan. Akibatnya, ketika neoliberalisme menindas kesejahteraan rakyat, maka perempuan-lah korban pertama. Misalnya, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, maka perempuan-lah yang paling pusing tujuh-keliling untuk memastikan “dapur” keluarga tetap mengepul.
Begitu juga dengan kebijakan privatisasi. Privatisasi tidak sekedar soal swastanisasi, tetapi juga soal pelepasan tanggung-jawab negara terhadap hak-hak dasar rakyat,–atau juga bisa dimaknai, domestifikasi urusan-urusan dan tanggung-jawab negara.
Kebijakan privatisasi sektor kesehatan, misalnya, dimana negara tak lagi bertanggung-jawab atas kesehatan rakyat, tetapi jatuh ke tangan masing-masing rumah tangga rakyat. Karena perempuan masih dibebani fungsi domestik itu, maka perempuan-lah yang harus memanggul tugas-tugas menjamin kesehatan keluarga itu.
Jika kita cermati: sebagian besar kasus bunuh diri karena motif ekonomi itu dilakukan oleh kaum perempuan (ibu rumah tangga). Sebab, kaum perempuan-lah yang berkontradiksi langsung dengan serangan-serangan neoliberal. Dalam banyak kasus, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga dipicu oleh persoalan-persoalan domestik (merawat dan melayani) yang dianggap tanggung-jawab kaum perempuan.
Dengan kerja domestik yang kian menumpuk, ditambah lagi tekanan langsung oleh neoliberalisme, kaum perempuan pun makin dikeluarkan dari ruang-ruang sosial dan politik kemasyarakatan. Sebagian besar perempuan kalangan bawah pun makin tergusur dari kehidupan politik.
Karena itu, sudah jelas bagi kami, bahwa kaum perempuan mesti berada di barisan terdepan dalam perjuangan anti-neoliberalisme. Kami juga beranggapan bahwa pengorganisasian gerakan perempuan mesti dibasiskan pada persoalan-persoalan kesejateraan yang dihubungkan dengan anti-neoliberalisme.
Karena itu, makin jelas pula, bahwa semangat kongres perempuan tahun 1928 sangat relevan untuk membangkitkan gerakan perempuan saat ini. Dan, pada gilirannya, gerakan perempuan harus menyatukan diri dengan sektor-sektor lain yang menjadi korban neoliberal untuk membangun perlawanan.
Minggu, 18 Desember 2011
Sosok Chavez Dijadikan Hiasan Natal di Venezuela
Tidak lama lagi, umat Kristiani akan merayakan Hari Raya Natal atau Hari Kelahiran Yesus . Tema natal pun mulai dijadikan hiasan di tempat-tempat umum. Demikian juga di Venezuela, negeri yang mayoritas rakyatnya beragama Nasrani. Mereka menjadikan Chavez sebagai salah satu ikon natal.
Dalam model bertema “kelahiran Yesus”, Chavez berdiri di depan palungan bayi Yesus dan menggantikan peran para gembala domba, yang dalam Alkitab diceritakan sebagai orang yang memberikan hunian bagi sang juru selamat umat Kristen yang baru lahir tersebut. Di belakang Hugo Chavez, berdiri miniatur tokoh idolanya, Simon Bolivar.
Sebagai penghargaan atas keberhasilan pembangunan infrastruktur di era Chavez, di dalam model yang ditempatkan di tengah pusat keramaian di kota Caracas tersebut, terdapat juga miniatur trem yang sedang mendekati replika pemukiman kumuh. Selain itu, terdapat replika Mission Barrio Adentro, sering disebut klinik komunitas, dan beberapa program sosial lainnya yang semuanya ditempatkan dibelakang palungan Yesus.
“Sama seperti dalam agama Kristen, revolusi itu dasarnya adalah cinta”, demikian kata Yasmina Ereu, yang juga terlibat membuat model tersebut.
Chavez sering dituding penganut filsafat sinkretisme, dengan memadukan Marx dan Yesus-kadang-kadang dalam pidatonya—sementara juga terus menerus membangkitkan semangat tokoh pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar.
Dalam kondisi politik yang kian terpolarisasi menjelang pemilu, barangkali hal tersebut tidak disukai oleh para lawan politik Chavez dan pendukung mereka. Namun, para pendukung Chavez dan pembuat hiasan natal tersebut mengaggap bahwa itu merupakan cara mereka menunjukkan penghargaan yang tulus terhadap Chavez dan capaian Revolusi Bolivarian.
Maria Mijares, seorang pegawai Kementerian Perempuan yang juga merupakan salah satu pembuat hiasan tersebut, mengatakan bahwa mereka sengaja membuat model seperti itu oleh karena sebagian besar media di Venezuela sengaja tidak mengkampanyekan keberhasilan dan capian revolusi di bawah Chavez.
Tidak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah toko pernak-pernik natal yang terletak dalam wilayah bekas Hilton Hotel yang telah dinasionalisasi oleh Chavez beberapa tahun silam. Toko tersebut menyediakan baju, boneka, gelas, dan mangkuk serta sejumlah barang lain bernuansa natal yang dihiasi dengan wajah Chavez.
“80% rakyat Venezuela bersamanya. Proses ini tidak akan berhenti,” kata pedagang pernak-pernik itu, Carlos Bonilla, yang menjual cangkir bergambar Chavez seharga 40 bolivars ($9,30).
Masihkah Kita Negara Pancasila?
Pada tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno mempidatokan Pancasila, ia sedang membayangkan “Weltanschauung”, sebuah pandangan hidup yang menjiwai setiap manusia Indonesia. Dengan itu pandangan dunia itu, Soekarno berharap perjalanan bangsanya menuju cita-cita nasionalnya punya pedoman.
Sebagai pandangan hidup, Pancasila tentu letaknya dalam jiwa dan fikiran bangsa Indonesia. Ia akan manifes dalam bentuk sikap (keberpihakan) dan tindakan. Filsafat nasional itu akan selalu memilih sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang sejalan dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia: masyarakat adil dan makmur.
Tetapi apa yang terjadi sekarang ini? Pancasila, sejak jaman orde baru hingga sekarang ini, tidak terserap sebagai pandangan hidup. Sebaliknya, sejak orde baru pula, Pancasila telah menjadi “benda keramat” layaknya benda peninggalan sejarah di museum. Pengakuan terhadap Pancasila sebagai dasar negara sebatas pemasangan gambar atau replika garuda Pancasila.
Pancasila tak lagi menjadi weltanschauung bangsa Indonesia. Pancasila punya lima prinsip dasar: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme,– atau perikemanusiaan; Mufakat, – atau demokrasi; Kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari kelima prinsip dasar itu, adakah yang masih dijalankan oleh penyelenggara negara?
Kita bicara soal kebangsaan Indonesia. Jika kita mengacu kepada Otto Bauer, orang Austria yang sering menjadi acuan Soekarno, kebangsaan didefenisikan sebagai satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Dulu, persatuan nasib itu didasarkan pada semangat melawan penjajahan.
Tapi sekarang, masihkan ada basis persatuan nasib itu? Basis untuk persatuan nasib itu makin tipis sekarang. Sejak orde baru hingga sekarang, proyek pembangunan hanya menciptakan ketimpangan: ketimpangan pembangunan antar daerah dan ketimpangan sosial diantara rakyat Indonesia sendiri.
Dalam banyak kasus, ketimpangan itu telah memicu ketidakpuasan, bahkan kehendak pemisahan dari negara Indonesia. Hal itu makin menguat ketika pemerintah berkuasa merespon ketidakpuasan itu dengan pendekatan militer.
Begitu pula dengan sila peri-kemanusiaan. Azas-azas kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia makin tergerus oleh liberalisme dan kapitalisme. Relasi sosial antar manusia tidak lagi diperantarai oleh kerjasama dan solidaritas, melainkan oleh logika mencari keuntungan dan rivalitas.
Harga-diri manusia Indonesia juga tidak sama dihadapan negara: negara memperlakukan sangat istimewa segelintir pemilik modal dan kaum elit, tetapi mengabaikan mayoritas yang miskin. Ini sangat tercemin dalam penyelenggaraan hukum yang sangat memihak kaum kaya dan kalangan elit.
Tragedi Mesuji baru-baru ini adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap pancasila. Aparatus negara, yakni TNI/Polri, yang mestinya melindungi rakyat, justru menjadi alat perusahaan untuk membantai kaum tani.
Prinsip demokrasi-mufakat juga sudah hampir terkubur. Praktisnya, hampir seluruh kebijakan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di negeri ini diputuskan oleh segelintir elit berkuasa. Sementara mayoritas rakyat Indonesia telah dilemparkan keluar dari ruang-ruang pengambilan kebijakan. Akibatnya, ada banyak sekali kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, seperti privatisasi, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain.
Nasib sila kesejahteraan/keadilan sosial justru lebih parah lagi. Sila ini bahkan tidak pernah terwujud dalam sejarah berbangsa dan bernegara kita. Ironisnya lagi, penyelenggara negara justru memilih sistim ekonomi-politik yang melahirkan ketidakadilan sosial: kapitalisme.
Sumber-sumber ekonomi, khususnya sumber daya alam, telah dikuasai oleh segelintir kapitalis asing dan swasta nasional. Ini terjadi lantaran pemerintah kembali mengadopsi kebijakan ekonomi berbau kolonial: neoliberalisme.
Para pendiri bangsa kita mewariskan pasal 33 UUD 1945 sebagai sistim perekonomian yang cocok untuk mendatangkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi, sejak orde baru hingga sekarang, pasal 33 UUD 1945 tidak pernah dijalankan oleh rejim-rejim berkuasa.
Terakhir, sila Ketuhanan Yang Maha Esa pun hampir tidak berjalan dengan baik. Kita belum lupa bagaimana pendukung Ahmadiyah dirampas kemerdekaan dan kebebasannya menjalankan ibadah oleh kelompok fanatik tertentu. Sampai sekarang, Jemaah HKBP di Bogor belum bisa beribadah dengan tenang karena tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah setempat.
Pancasila, yang digali para pendiri bangsa dari bumi pertiwi, tidak lagi menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Ironisnya: penyelewengan terhadap Pancasila justru dimulai oleh para penyelenggara negara. Penyelenggara negara kita justru mewarisi pandangan hidup jaman kolonial: keberpihakan kepada pemilik modal, pengabdian kepada keserakahan, menjunjung tinggi korupsi, dan pengagungan terhadap praktek kekerasan dan diskriminasi.
Kamis, 15 Desember 2011
Tragedi Mesuji Dan Momentum Penegakan UUPA 1960
Satu lagi kejadian memilukan bangsa terungkap: tragedi Mesuji. Ada 30 orang petani tewas terbunuh saat mempertanahkan lahan di Mesuji, Tulang Bawang, Lampung. Mereka dibunuh oleh PAM Swakarsa, yang dibekingi oleh aparat keamanan, atas perintah PT Silva Inhutani.
Kejadian itu bermula saat PT Silva Inhutani mendapat ijin membuka lahan untuk menanam kelapa sawit dan karet di Mesuji. Akan tetapi, areal konsensi perusahaan asal Malaysia itu jelas menyerobot lahan milik petani.
Petani pun melakukan perlawanan. Mereka tidak rela tanah warisan leluhurnya dicaplok begitu saja oleh perusahaan asing. Namun, berhadapan dengan perlawanan yang cukup keras dari petani, pihak perusahaan pun membentuk Pam Swakarsa. Konon, Pam Swakarsa ini dibekingi oleh pihak kepolisian.
Tragedi Mesuji adalah sekian dari begitu banyak kasus agraria di Indonesia yang mengorbankan para petani. Kejadian serupa juga terjadi di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain.
Ini juga menjelaskan bahwa sistim kepemilikan tanah ala kolonial masih berlaku. Tanah yang dimiliki oleh rakyat, sudah ditempati selama puluhan tahun secara turun-temurun, bisa dirampas begitu saja oleh perusahaan swasta. Ironisnya, proses perampasan tanah rakyat itu dilegitimasi oleh pemerintah.
Pada tahun 1960, Indonesia sebenarnya sudah punya konsep agrarian yang progressif dan berpihak kepada rakyat. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
UUPA 1960, yang merupakan turunan pasal 33 UUD 1945, menjamin kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Jika UUPA 1960 dilaksanakan, maka kejadian-kejadian seperti Mesuji tidak boleh terjadi. Indonesia juga tidak perlu mengadopsi hukum agraria kolonial seperti sekarang.
Akan tetapi, sejak diberlakukan hingga sekarang, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Di masa orde baru, UUPA 1960 dihujat sebagai sistem agrarian yang berbau komunis. Lalu, oleh rejim orde baru sendiri, dibuatlah UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. UU itu membuka kembali pintu kolonialisme dalam tata-kelola agraria di Indonesia.
Lalu, pada masa reformasi, UUPA 1960 makin jauh dari implementasi. Sekarang ini, sistematika perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal UU pokok. Semua UU dianggap sejajar. Dengan begitu, banyak sekali UU di bidang agraria (termasuk kehutanan) yang bertolak belakang dengan semangat UUPA.
Jika kita berbicara sebagai negara hukum, maka jelas pemerintahan sejak Soeharto hingga sekarang adalah inkonstitusional. Mereka telah membuat UU dan seperangkat kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka juga telah menghianati cita-cita proklamasi.
Karena itu, juga bercermin dari tragedi Mesuji, kita menganggap sudah saatnya menegakkan UUPA 1960. Semua konflik agraria di Indonesia harus diselesaikan dalam kerangka UUPA 1960. Perspektif pembangunan ekonomi pertanian Indonesia juga harus mengacu pada UUPA 1960.
Jumat, 09 Desember 2011
Pesan Dari “Aksi Bakar Diri Di Depan Istana”
Saya langsung teringat dengan Mohammed Bouazizi di Tunisia dan Chun Tae il di Korea Selatan. Keduanya telah menjadi martir, mungkin juga pemantik, bagi kebangkitan gerakan rakyat di negaranya. Mereka adalah ekspresi dari sebuah kemarahan yang terpendam.
Mungkin itu juga yang ada dalam benak pria yang membakar diri di depan istana negara, kemarin (7/12). Si pria pemberani ini membawa sebuah pesan: ia tidak tahan lagi melihat keadaan yang kian memburuk dan menuntut pemerintah segera bertindak. Hanya saja, Chun Tae Il, aktivis buruh korea itu, membawa pesannya cukup jelas: ia mengalungkan poster “WTO membunuh petani” sesaat sebelum membakar diri.
Jika dilihat dari sasaran aksinya, yakni di depan istana negara, jelas bahwa si pelaku bakar diri menjalankan aksi protes terhadap rejim. Ia punya sasaran protes yang sangat jelas: SBY-Budiono. Dengan demikian, motif protes dari pria malang ini pun bisa ditebak: ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono.
Ketidakpuasan terhadap rejim SBY-Budiono sedang meningkat. Lembaga survei juga memperlihatkan bagaimana tingkat kepuasan massa-rakyat terhadap rejim SBY-Budiono makin menurun. Selama dua periode SBY memerintah, tidak ada perbaikan sedikit pun terhadap kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya: kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, biaya hidup makin meroket, dan lain sebagainya.
Ketidakpuasan ini sudah sering menimbulkan tindakan ekstrim. Di Sleman, Yogyakarta, seorang ibu rela membakar diri bersama dua orang anaknya. Diduga, sang ibu depresi memikirkan utangnya sebesar Rp20 ribu. Di desa Putat, Cirebon, Jawa Barat, seorang ibu juga rela membakar diri bersama dua anaknya. Motifnya juga sama: himpitan ekonomi yang membuat ibu-rumah tangga ini pusing tujuh keliling.
Rata-rata angka bunuh diri di Indonesia dilaporkan mencapai 1,6-1,8 per 100 ribu penduduk. Artinya, jika data itu benar, berarti untuk Jakarta saja terjadi 160 kasus bunuh diri per tahun atau sekitar 10 kejadian bunuh diri per bulan. Aksi bunuh diri ini sebagian besar bermotifkan ekonomi. Sebagian besar pelakunya juga perempuan. Kenapa perempuan? Karena perempuan masih tersandera oleh peran domestik, maka mereka lah yang berhadapan langsung dengan krisis ekonomi, seperti kenaikan harga sembako, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Ironisnya, kesengsaraan hidup yang dirasakan oleh mayoritas rakyat ini sangat kontras dengan kehidupan pejabat dan segelintir kaum kaya di Indonesia. Indonesia telah menjadi negara dengan tingkat kesenjangan sosial paling parah di Asia tenggara, mungkin juga dunia.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Selain itu, dengan merujuk pada catatan majalah Forbes, selama 5 tahun terakhir kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia naik rata-rata 80% per-tahun. Lebih jauh lagi, diketahui bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 43 ribu orang terkaya itu, hampir setara dengan akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang.
Kita pun memasuki sebuah situasi yang disebut—meminjam istilah Gramsci—“momen krisis”. Ini adalah momen dimana rakyat mulai tidak puas dengan kinerja para pejabat di pemerintahan. Mereka juga mulai yakin bahwa pemerintah akan sulit menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang mendesak. Dalam banyak kasus, berbagai protes dan tuntutan rakyat seperti membentur tembok tinggi.
Dalam situasi begini, rakyat sebetulnya memerlukan sebuah alternatif yang sanggup menjawab kebutuhan mereka yang paling mendesak. Akan tetapi, alternatif tidak muncul dari seruan-seruan politik belaka. Sejarah memperlihatkan bahwa alternatif muncul ketika sebuah gerakan politik berhasil menemukan proposal bersama dan mengikat berbagai sektor sosial yang luas ke dalam satu tujuan bersama.
Senin, 05 Desember 2011
Menanti Akhir Retorika Presiden
Mendengarkan pidato Presiden SBY menyambut 17 Agustus, kita kembali disuguhkan klaim-klaim tentang keberhasilan dan rencana kebijakan yang jauh dengan kenyataan. Pidato tersebut memaparkan capaian-capaian yang telah diraih semenjak Reformasi; dimulai dengan capaian politik seperti kebebasan pers dan berpendapat, demokratisasi, desentralisasi, dan profesionalisme TNI.
Secara umum masa paska Reformasi digambarkannya sebagai suatu proses yang terus membaik. Namun bila ditilik lebih mendalam, periode ini terbagi menjadi beberapa masa jabatan presiden yang mana SBY menjabat terlama. Proses demokratisasi yang mendalam berlangsung pada masa pemerintahan Habibie dan Gus Dur yang menjabat sebelumnya. Pada masa SBY, demokrasi justru mengalami penurunan kredibilitas seiring merajalelanya politik uang dan hubungan balas-jasa (patron-klien). Menariknya, pidato SBY juga mengangkat keprihatinan terhadap politik berbiaya tinggi, padahal telah banyak diketahui bahwa Partai Demokrat yang menjadi kendaraan elektoralnya justru merupakan praktisi utama gaya berpolitik itu.
Memang harus diakui bahwa di masa SBY lah TNI tampil paling ‘jinak’. Namun terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa TNI telah “menjadi tentara profesional, tidak lagi berpolitik dan berbisnis”. Bagaimana ia bisa menyatakan itu ketika tim suksesnya dalam pemilu 2009, yang terkenal dengan “Operasi Senyap”-nya, bertaburan jendral-jendral yang menggerakkan jajaran angkatan bersenjata untuk memenangkan Partai Demokrat dan SBY?
Klaim tentang capaian ekonomi telah menjadi klise. Kokohnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat krisis finansial 2008 bukan disebabkan kebijakan pemerintah, melainkan sudah menjadi tren regional yang memang tidak terkena imbas besar tsunami finansial dari Wall Street.
Kredibilitas internasional, peringkat kredit, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa dan lain sebagainya telah berulangkali digunakan oleh pemerintah untuk meyakinkan bahwa kebijakan ekonomi sudah benar. Indikator-indikator ini memang bisa meyakinkan para investor dan kekuatan finansial asing bahwa pemerintah SBY berjalan pada rel yang mereka tetapkan – yakni dengan memangkas pembelanjaan sosial dan menekan defisit anggaran. Namun rakyat kebanyakan yang merasakan langsung kemerosotan standar hidup tentunya tidak begitu saja bersepakat.
Angka alokasi anggaran menunjukan bahwa anggaran subsidi dalam RAPBN 2011 mengalami penurunan besar dibandingkan APBN 2010, yakni sebesar 26,5 trilyun rupiah. Dibandingkan komponen anggaran lainnya, persentase penurunan komponen subsidi adalah terbesar; dari 3,2% terhadap PDB pada 2010 menjadi 2,6% terhadap PDB pada RAPBN 2011. Padahal anggaran subsidi ini merupakan faktor penting yang menunjukan komitmen pemerintah dalam meringankan beban ekonomi rakyat dan memakmurkannya.
Dengan kebijakan anggaran pemerintah seperti ini, susah rasanya untuk mempercayai bahwa pilar pertama di antara tiga pilar dalam pidato SBY – kesejahteraan, demokrasi dan keadilan – benar-benar akan ditegakkan olehnya. Apalagi meyakini bahwa ia sedang mengupayakan suatu pembangunan yang berpihak pada rakyat miskin (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job) dan lingkungan hidup (pro-environment). Pemotongan subsidi seperti listrik, BBM, gas, dsb. bukan saja memberatkan kehidupan rakyat tapi juga mencekik perindustrian atau sektor riil yang menyediakan lapangan kerja terbanyak. Pada akhirnya ketiga pro- tersebut hanya menjadi hiasan saja bagi kegandrungan pemerintah terhadap pro- yang satunya lagi: pro-pertumbuhan (ekonomi). Padahal angka pertumbuhan yang diterbitkan pemerintah lebih banyak menggambarkan pertumbuhan perusahaan besar termasuk asing.
Retorika seperti ini memang sudah menjadi santapan sehari-hari dari pemerintahan SBY. Sudah berapa banyak saja rakyat dikecewakan ketika menemui kenyataan bahwa klaim-klaim SBY seperti contohnya pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi begitu jauh dari kenyataan di lapangan. Kasus-kasus korupsi masih marak dan menggila, sementara kasus besar dan serius seperti Bank Century justru terombang-ambing di tengah kesepakatan-kesepakatan elit politik di balik layar. Di institusi-institusi negara seperti kepolisian atau dirjen pajak, rakyat biasa yang tak punya hak istimewa masih begitu sering dipersulit dan diperas oleh birokrasi, sementara mereka yang mampu membayar atau berkedudukan penting dapat dengan mudah mendapat perlakuan-perlakuan istimewa.
Susah untuk tidak mempertanyakan sampai kapan kebohongan ini akan berakhir. Atau barangkali memang ada suatu upaya sistematis yang hendak menjadikan seribu kebohongan menjadi kebenaran.
Sabtu, 03 Desember 2011
Efektifkah “Kebun Koruptor”?
Sebuah ide dari guyonan, bahkan cenderung gila, bisa menjadi masuk akal di tengah kebuntuan. Begitulah ide ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengenai “kebun koruptor” tampak masuk akal. Ia bisa menjadi ide cemerlang di tengah kefrustasian akan keadaan.
Korupsi memang satu soal besar di negara kita. Bahkan, begitu tidak berdayanya pemerintah, juga lembaga-lembaga anti-korupsi, dalam menghadapi perilaku korup membuat orang hampir putus-asa. Korupsi berjalan terus..dan terus!
Muncur pertanyaan: apakah ide membuat “kebun koruptor” bisa dipraktekkan dan seberapa efektif ide itu bisa mengurangi perilaku koruptif?
Ide “kebun koruptor” memang sangat mungkin dipraktekkan. Ide mempermalukan koruptor sendiri sudah banyak diusulkan; mulai dari usulan baju khusus untuk koruptor, penjara khusus untuk koruptor, dan lain sebagainya.
Di negara lain, khususnya Tiongkok, ide mempermalukan koruptor juga terkadang dipakai, disamping model hukuman yang keras: hukuman mati. Di sana, katanya, koruptor diborgol tangan dan kakinya, serta menjalani kerja paksa yang ditayangkan oleh televisi nasional.
Seberapa efektif ide mempermalukan koruptor di negara kita? Menurut kami, seorang koruptor adalah manusia yang sudah hilang rasa malunya. Mereka sanggup melakukan tindakan korupsi karena merasa tidak malu terhadap masyarakat dan lingkungan sosialnya. Bahkan, ketika seorang koruptor sudah menjalani penjara atau hukuman, ia tidak akan merasa malu ketika kembali ke masyarakat.
Hukuman berat juga belum tentu efektif di negara kita. Ini hanya soal memberi efek jera kepada koruptor dan calon koruptor. Difikirnya, dengan memberi efek jera seperti itu, orang akan berfikir dua kali untuk melakukan tindakan serupa.
Akan tetapi, bagi kami, hal semacam itu belum tentu efektif di Indonesia: negara yang sistim ekonomi dan politiknya sangat membuka celah bagi korupsi. Proses penegakan hukum di Indonesia juga sangat gampang “terbeli”. Jadi, metode mempermalukan dan menghukum berat koruptor belum tentu efektif.
Justru, bagi kami, pemberantasan korupsi di Indonesia mesti juga bersifat sistemik. Artinya, gerakan memberantas korupsi harus melekat dengan perjuangan untuk mengubah sistim ekonomi dan politik yang korup ini. Selama ekonomi nasional kita belum produktif, maka korupsi sebagai penyakit tentu akan terus-menerus tumbuh dan berkembang.
Sistim politik kita juga sangat rentan dengan korupsi. Selain terlalu birokratis, sistim politik kita juga sangat jauh dari kontrol dan partisipasi rakyat. Sistim politik kita memungkinkan kontrol terhadap sumber daya dan kekayaan publik tersentralisasi di tangan segelintir elit/pejabat politik. Hal itu menyebabkan jabatan politik menjadi ‘surga abadi” bagi para koruptor.
Untuk itu, jika hendak memerangi korupsi, maka sistim ekonomi dan politik ini perlu dirombak total. Ekonomi nasional yang tidak produktif, karena dikangkangi oleh imperialisme dan segelintir swasta nasional, menyebabkan konsentrasi kekayaan ke tangan segelintir orang. Ekonomi nasional yang tidak produktif ini juga tidak menyediakan basis akumulasi yang produktif pula.
Selain itu, sistim kapitalisme juga mengajarkan korupsi secara inheren: kapitalisme adalah sistim yang tumbuh karena pencurian nilai lebih, karena perampasan hasil kerja dan keringat manusia yang bekerja, dan perampasan kemakmuran bangsa lain. Kapitalisme juga mengajarkan fetitisme terhadap uang dan kekayaan.
Karena itu, bagi kami, hanya dengan menghapuskan imperialisme dan kapitalismelah yang membuka jalan untuk pemberantasan korupsi yang sejati. Dan, hanya dengan kekuasaan politik yang ditransfer ke rakyatlah yang membuat sistim politik makin sehat dan menjauh dari praktek korupsi.
Kalau proses politik dikontrol dan dijalankan langsung oleh rakyat, termasuk perumusan kebijakan dan penentuan alokasi sumber daya, maka korupsi bisa dikurangi hingga tingkat yang paling rendah.
Jumat, 02 Desember 2011
Kita Butuh Pemimpin Penggerak Rakyat
Indonesia masa kini sedang krisis kepemimpinan. Pemimpin sekarang punya banyak kelemahan: terlalu mengalah kepada kepentingan asing, tidak sanggup menjaga kepentingan nasional, tidak mampu menggerakkan rakyat, dan kurang cakap dalam mengelola pemerintahan.
Dulu, pada tahun 1950, Herbert Feith, penulis buku “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962)”, membagi dua tipe pemimpin Indonesia: administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa).
Kategori administrator adalah orang yang memiliki kemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan kecakapan bahasa asing yang diperlukan untuk menjalankan negara modern. Sedangkan tipe solidarity maker adalah mereka yang memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa.
Kita akan membahas tipe kedua, yaitu solidarity maker. Feith sendiri kurang setuju dengan tipe solidarity-maker ini, karena dianggapnya hanya pandai memberikan harapan yang muluk tentang masa depan Indonesia, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. Tetapi, bagi kami, tipe pemimpin solidarity-maker justru sangat dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini: kita terkotak-kotak dalam berbagai partai yang berorientasi sempit; rakyat kita teratomisasi menjadi individu tanpa orientasi kolektif; sementara kita terjajah oleh imperialisme.
Kita membutuhkan pemimpin yang bisa menggerakkan rakyat. Bagi Bung Karno, seorang pemimpin harus bisa menggerakkan rakyatnya untuk mencapai cita-cita nasional yang sudah dirumuskan. Ini semacam “leistar” yang menggerakkan rakyat menuju cita-cita masyarakat masa depan.
Bung Karno sendiri menyebut tiga syarat yang mesti dipunyai seorang pemimpin agar bisa menggerakkan rakyat: pertama, pemimpin harus bisa melukiskan cita-citanya kepada rakyat banyak. Kedua, pemimpin harus bisa membangunkan (menyakinkan) rakyat bahwa mereka mampu. Ketiga, setelah membangkitkan rasa mampu dari rakyat, seorang pemimpin harus mengetahui cara mengorganisir rakyat itu.
SBY sendiri masuk kategori pemimpin salon. Ia tidak punya kemampuan untuk menggerakkan massa rakyat. Banyak seruan-seruannya tidak diikuti oleh rakyat, bahkan terkadang dilawan oleh rakyat. Pasalnya, banyak seruan-seruan politiknya bertentangan dengan keinginan rakyat.
Jangankan pandai melukiskan cita-cita kepada rakyat banyak, SBY justru mengalah kepada kepentingan asing dan membiarkan cita-cita nasional kita tenggelam akibat amukan badai neoliberalisme. SBY pun gagal memperjuangkan kepentingan nasional dan kepentingan seluruh rakyat.
Banyak seruan-seruan SBY juga bertolak-belakang antara ucapan dan tindakan. Sebagai contoh, ketika sedang berkampanye besar-besaran melawan korupsi, ia justru tidak punya itikad politik untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan anggota partai dan menteri di dalam kabinetnya.
Cita-cita nasional bangsa Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur. Dulu, ketika Republik baru berdiri, rakyat Indonesia rela berkorban jiwa dan raga untuk memperjuangkan cita-cita itu. Sekarang, seiring dengan seringnya para pemimpin melupakan dan menghianati rakyatnya, rakyat pun seperti kehilangan asa dan harapan.
Dalam situasi sekarang ini, dimana penjajahan telah begitu menghisap bangsa kita, seorang pemimpin bertipe penggerak massa rakyat sangat diperlukan. Kita butuh seorang pemimpin yang pandai melukiskan cita-cita masa depan. Tetapi bukan cita-cita yang muluk-muluk, melainkan cita-cita yang lahir dari analisa dan tuntutan sejarah perkembangan masyarakat. Sejumlah bangsa di Amerika Latin, seperti Venezuela dan Bolivia, sedang merintis jalan cita-cita semacam itu. Lalu, kalau rakyat Bolivia dan Venezuela bisa melakukanya, kenapa kita tidak!
Rabu, 30 November 2011
Putusan Kasasi Pra-Peradilan E2L (dr. Elly Engelbert Lasut, ME) Putusan ini menguatkan Putusan Pra-Peradilan Negeri Manado yang mana memenangkan E2L
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
P U
INFORMASI PERKARA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Kembali
No Register 1960 K/PID/2010
Pengadilan Pengaju Manado
No Surat Pengantar W19.U1/I/IX/2010
Jenis Permohonan K
Jenis Perkara PID
Klasifikasi Praperadilan
Tanggal Masuk 03-Nov-10
Tanggal Distribusi 01-Dec-10
Pemohon Jaksa pada Kejari
Termohon / Terdakwa Dr. Elly Engerbert Lasut. ME >< Jaksa Agung RI
Tim Yudisial I
Hakim P1 Prof. DR. Surya Jaya, SH., M.Hum
Hakim P2 DR. Salman Luthan, SH., MH
Hakim P3 Komariah Emong Sapardjaja, Prof., DR., SH.
Hakim P4
Hakim P5
Panitera Pengganti A-SRI
Status Putus
Tanggal Putus 26-Jul-11
Amar Putusan NO
Tanggal Kirim Ke Pengadilan Pengaju
Keterangan
Senin, 28 November 2011
Tong Kosong Nyaring Bunyinya
Ada yang tak lazim di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin, 22 November 2011. Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris tiba-tiba mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Kepada wartawan, politisi Partai Golkar itu mengaku ingin memeriksa Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Fahmi Idris adalah salah satu politisi yang “tersengat” oleh nyanyian pedas Busyro Muqoddas beberapa hari terakhir. Kata Busyro, menteri-menteri yang berasal dari parpol cenderung korup dan menjadikan pos kementeriannya sebagai pundi-pundi parpol. Pernyataan ini kontan saja membuat tidak enak telinga pejabat dan bekas pejabat menteri dari parpol.
Fahmi Idris, politisi Golkar yang pernah menjadi Menteri Perindustrian, adalah satu contoh menteri yang tidak terkait kasus korupsi apapun dan mengaku tidak menggunakan kementeriannya sebagai pundi-pundi parpol. Sebaliknya, menurut Fahmi Idris, ada pula menteri non-parpol yang divonis bersalah di pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi).
Busyro Muqoddas pun terpental karena ucapannya sendiri. Ia terjebak dengan logika berfikirnya yang suka melakukan overgeneralisasi. Busyro pun digugat ketidakmampuannya selaku pimpinan KPK dalam mengejar dan menangkap sejumlah pelaku korupsi. Salah satunya adalah Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Tidak hanya itu, KPK juga tidak punya gigi saat mengusut sejumlah kasus korupsi besar, khususnya yang melibatkan partai berkuasa dan pejabat di lingkaran istana. Sebut saja tiga yang terkenal: Sri Mulyani dan Budiono (skandal Bank Century), Andi Mallarangen (suap wisma atlet), dan Muhaimin Iskandar (dana PPDIT).
Kasus lainnya adalah kasus Nazaruddin, yang diduga juga melibatkan banyak petinggi Partai Demokrat. Kita belum mendengar sedikitpun kemajuan dalam pengusutan kasus ini. Padahal, sebelumnya kasus ini sudah menyeret sejumlah nama petinggi partai demokrat, seperti Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh.
Survei internasional menempatkan Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah dalam penanganan kasus korupsi. Salah satu penyebabnya adalah KPK tidak sanggup memerangi korupsi yang berpusat di lingkaran kekuasaan. Bahkan sebuah bola liar yang dimuntahkan Nazaruddin menyebut nama seorang pimpinan KPK dalam kasusnya.
Di tengah hujan kritik yang menimpa institusinya, ada baiknya Busyro Muqoddas berkonsentrasi menjalankan pekerjannya. Akan lebih baik jika Busyro tidak sekedar berbunyi, tetapi langsung segera mengusut dan menangkap menteri-menteri yang yang menggunakan kementerian sebagai pundi-pundi parpol.
Juga, tanpa mengabaikan kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik, ada baiknya KPK juga mengusut puluhan perusahaan asing yang menunggak pajak. KPK juga mesti mengusut berbagai “tipu-daya” perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam bangsa kita dan merugikan kepentingan nasional.
Jika tidak sanggup menjalankan berbagai hal di atas, kita bisa saja menempelkan label “tong kosong nyaring bunyinya” kepada Busyro Muqoddas. Jangan-jangan dia cuma mencari popularitas, supaya bisa mengincar jabatan politik. Atau, jangan-jangan dia sengaja ditempatkan sebagai jubir imperialis untuk proyek “depolitisasi” di Indonesia.
Berpesta Di Tengah Kemiskinan
Pada tahun 1918, seperti Gajah Mada, mahapati Majapahit yang terkenal itu, Bung Hatta juga mengucapkan sebuah sumpah: Ia bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia Merdeka. Hatta, yang ketika itu baru berusia 16 tahun, berusaha mendedikasikan seluruh kehidupannya demi bangsanya.
Bung Hatta memenuhi janjinya itu. Pada 18 November 1945, tiga bulan setelah Republik Indonesia diproklamasikan, Bung Hatta pun pun menikah dengan Rahmi Rachim. Meskipun saat itu Hatta sudah Wakil Presiden, tetapi acara pernikahannya berlangsung sangat sederhana. Bahkan, Bung Hatta hanya memberi sebuah buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” sebagai mas kawin.
Kehidupan para pemimpin Republik pertama memang sederhana. Mimpi dan cita-cita besar mereka mengalahkan segala-galanya. Itu pula yang menyebabkan mengapa banyak penulis menyebut para pemimpin Republik pertama ini sebagai negarawan besar.
Zaman sudah berubah. Kita tidak lagi hidup di era Bung Karno maupun Bung Hatta. Di jaman sekarang, kita tentu saja sulit menemukan sosok pemimpin seperti Bung Karno dan Bung Hatta ini. Yang paling banyak kita temui di jaman sekarang adalah bukan pemimpin, melainkan “pencari kekayaan yang menggunakan jalur politik”.
Dan lihatlah pernikahan dua anak pejabat negara hari ini: Edhie Baskoro (anak Presiden SBY) dan Siti Rubi Aliya (anak Hatta Radjasa). Konon, pernikahan kedua anak pejabat tinggi negara ini menghabiskan berpuluh-puluh milyar. Sementara kekayaan SBY, seperti tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pada 25 Mei 2009, hanya berjumlah Rp 7,14 miliar ditambah US$ 44.887.
Pesta pernikahan pun digelar bak pernikahan keluarga kerajaan di masa lampau: serbah mewah. Media pun melaporkan pernikahan ini dari detik ke detik, seolah-olah pernikahan ini adalah sebuah peristiwa nasional yang berpengaruh terhadap kehidupan rakyat. Sedangkan banyak persoalan yang penting, yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, justru tidak terlaporkan.
Lebih parah lagi, SBY dan Hatta pun sibuk dalam hajatan keluarga itu, dan seolah-olah meninggalkan tugasnya sebagai pejabat negara. Lebih parah lagi, lembaga negara sepertinya mengalami “libur nasional” pada saat pernikahan. Sejumlah agenda rapat di gedung parlemen pun batal karena para legislator lebih memilih hadir dalam pesta tersebut. Jadinya terkesan seolah-olah pernikahan Ibas-Aliya ini adalah “hajatan nasional”.
Sebagian sekolah di sekitar Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat juga meliburkan siswa-siswanya pada hari berlangsungnya akad nikah Ibas-Aliyah itu. Aneh sekali, pernikahan dua orang anak pejabat dibiarkan menganggu proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi masa depan.
Inilah sebuah ironi bagi bangsa kita sekarang: jika dulu para pemimpin bangsa rela mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi kepentingan rakyat dan bangsa yang lebih besar, maka para pemimpin sekarang justru tega mengorbankan kepentingan rakyat dan bangsa yang besar demi menonjolkan kemewahan keluarganya.
Rabu, 23 November 2011
Kaum Tani Dan Pasal 33 UUD 1945
Tanah tidak boleh dijadikan sebagai alat eksploitasi. Tanah harus menjadi milik para petani! Tanah harus menjadi milik para petani! tanah harus menjadi milik mereka yang benar-benar menggarapnya, bukan mereka, yang hanya ongkang-ongkang, memaksa orang lain bekerja.
Bung Karno mengemukakan ini, dengan nada suara yang tegas, sebelum ia mengundangkan UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960. Dalam UUPA 1960 itu disebutkan, bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.
UUPA sendiri hanya turunan dari pasal 33 UUD 1945. Dalam UUPA 1960, agrarian tidak artikan sebatas tanah, melainkan diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada sebuah penegasan yang sangat jelas bahwa rakyat-lah pemilik sah keseluruhan kekayaan di bumi Indonesia ini.
Tetapi pemerintahan sekarang justru mengabaikan UUPA 1960 itu. Tanah tidak lagi dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, tapi telah dialihkan kepada segelintir pemilik modal (asing dan dalam negeri). Bahkan melegalisasi berbagai bentuk perampasan tanah itu melalui lusinan peraturan: UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan. Terakhir, jika tak ada aral melintang, SBY pun akan mengesahkan RUU pengadaan tanah.
Aktivis Institute For Global Justice (IGJ), Salamudding Daeng, mengklaim bahwa jumlah tanah Indonesia yang dikuasai oleh pihak asing sudah mencapai 175 juta hektar. Dari 9,1 juta hektar kebun sawit di Indonesia, itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan group saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektar hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan.
Pemerintahan SBY, yang mengabaikan pasal 33 UUD 1945, membawa perekonomian Indonesia menjadi liberal. Salah satu dampak liberalisasi di sektor pertanian adalah kebijakan liberalisasi impor pangan. Bukan hanya beras yang diimpor, tetapi produk pangan yang lain pun, semisal kedele dan sejenisnya, kini sudah diimpor oleh pemerintah.
Padahal, jika kita lihat kembali filosofi pasal 33 UUD 1945, pertanian rakyat mau dibawa ke pertanian modern. Sehingga, demi menjami hasil produksi dan memberi dasar untuk industrialisasi, pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan pendirian koperasi-koperasi untuk menjamin dan mengolah hasil produksi petani.
Ekonomi pertanian sekarang sangat mirip dengan jaman kolonial. Kalaupun ada komoditi pertanian yang dikembangkan, maka itupun karena berorientasi pasar internasional dan tidak ada perspektif untuk mengolahnya di dalam negeri. Semisal sawit, yang kini menjadi komoditi andalan Indonesia untuk ekspor. Ada yang ironis di situ: satu sisi Indonsia adalah pengekspor sawit terbesar di dunia, tetapi di sisi lain, harga minyak goreng di dalam negeri sangat mahal dan kadang membuat rakyat menjerit.
Tidak ada satupun negara di dunia yang bisa bertahan tanpa membangun pertanian. Pembangunan pertanian sangat penting untuk menjamin ketahanan pangan nasional dan memberi dasar bagi proyek industrialisasi.
Oleh karena itu, dalam rangka membangun kembali sektor pertanian kita, pemerintah mesti menjalankan sepenuh-penuhnya UUPA 1960 dan pasal 33 UUD 1945. Hanya dengan begitulah taraf hidup kaum tani dan seluruh rakyat jelata Indonesia bisa meningkat.
Senin, 21 November 2011
Bangkitkan Percaya Diri Melalui Olahraga
Piala Dunia tahun 2010 tentu punya kebanggan tersendiri bagi Ghana, negeri Afrika pertama yang berhasil merebut kemerdekaan dari kolonialisme. Dalam perhelatan sepak bola paling akbar di dunia itu, Ghana berhasil menaklukkan negeri superpower Amerika Serikat dengan skor menyakitkan: 2-1.
Rakyat Ghana pun turun ke jalan-jalan, seolah merayakan “kemerdekaan nasional” yang kedua, setelah sebelumnya dimerdekakan dari kolonialisme oleh Kwame Nkrumah. Yah, sekalipun Ghana belum bisa benar-benar menghapus belenggu kolonialisme yang menghisap mereka hingga hari itu, tetapi setidaknya kepercayaan diri kembali bangkit di setiap hati orang-orang Ghana.
Indonesia sepertinya sedang menunggu nasib seperti Ghana. Setelah menunggu selama 14 tahun lamanya, tim merah-putih kemungkinan besar berhasil merebut kembali gelar juara umum pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara ini. Maklum, Indonesia terakhir kali menjadi juara SEA-Games tahun 1997 lalu, dan pada SEA-Games sesudahnya Indonesia terus terperosok hingga urutan ke-lima.
Tetapi, ada penantian yang lebih lama lagi, yaitu gelar juara di cabang sepak-bola, yang sudah 20 tahun terlepas dari genggaman tim Garuda. Tak pelak lagi, begitu rindunya rakyat Indonesia akan gelar juara bergengsi itu, puluhan ribu supporter Indonesia selalu setia memberi dukungan dan semangat kepada tim nasionalnya.
Kemenangan-kemenangan itu memang cukup penting. Di tengah keterpurukan akibat neo-kolonialisme/imperialisme, rakyat Indonesia seperti kehilangan harapan dan asa untuk masa depan yang lebih baik. Tetapi penghancuran harapan itu karena serangan budaya imperialis dan penghianatan para pemimpin kita.
Di kalangan pemimpin kita pun muncul penyakit “inlander” yang tidak ketulungan. Mereka begitu senang membungkuk dan tunduk pada pihak asing. Penyakit ini juga menghinggapi tidak sedikit kalangan intelektual bangsa kita.
Dalam lapangan ekonomi pun penyakit “rendah diri” sering menampakkan diri. Bung Hatta, dalam kumpulan karangannya soal ekonomi “Beberapa Fasal Ekonomi”, mengakui adanya penyakit rendah diri dalam perekonomian itu. Penyakit itu sering disebut “economische minderwaardigheid”.
Menurut Bung Hatta, penyakit “economische minderwaardigheid” itu awalnya ditanamkan oleh surat kabar-surat kabar barat dan intelektual barat. Bung Hatta menganggap hal itu sebagai salah-satu bentuk senjata psikologis kolonialisme untuk menaklukkan “semangat” bangsa kita untuk membangun perekonomian sendiri.
Bung Karno, juga Bung Hatta, ketika membangkitkan rakyat melawan penjajahan sudah menyerukan sikap “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari). Bung Karno faham betul adanya pertentangan antara sana (kolonialisme/imperialisme) dan sini (rakyat indonesia). Pihak “sana” selalu berusaha menjajah dan mengambil keuntungan dari pihak “sini”. Karenanya, untuk keluar dari belenggu “sana”, maka kaum “sini” harus berjuang dengan kekuatan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, dan keringat sendiri.
Karena itu, untuk keluar dari penindasan neokolonialisme di segala lapangan kehidupan, sudah saatnya bangsa Indonesia memupuk kembali semangat “self reliance” dan “Self help” sebagai motor untuk membangun bangsa sendiri. Tetapi, seperti juga diperingatkan Bung Karno, bahwa sikap “self reliance” dan “self help” itu tidak menolak kerjasama atau bantuan dari bangsa-bangsa sekawan dan punya misi sama dalam perjuangan kita.
Kita sangat berharap bahwa prestasi yang ditorehkan oleh atlet Indonesia di ajang SEA-Games bisa menjadi cambuk untuk menyadarkan kita; bahwa kita bangsa yang besar dan punya kemampuan untuk bangkit. Kita bisa bangkit menjadi bangsa berdaulat, berdikari, dan bermartabat.
Selasa, 15 November 2011
Kesehatan Rakyat Dihadapan Pasar
Beberapa hari lalu, tepatnya 12 November 2014, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesehatan Nasional. Tapi karena kalah “gaung” dari Sea Games XXVI, peringatan “Hari Kesehatan Nasional” kurang terdengar. Padahal, kesehatan rakyat juga urusan yang sangat penting dan tak dapat ditunda-tunda.
Derajat kesehatan kita makin “darurat”. Sebagian besar rakyat kita belum bisa mengakses layanan kesehatan dengan baik dan maksimal. Sementara program pemerintah di bidang kesehatan sangat sedikit yang jatuh ke tangan rakyat banyak.
Dalam APBN 2011, kesehatan rakyat hanya mendapat anggaran sebesar 2,3%. Padahal, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengharuskan anggaran kesehatan paling minimal 5 persen. Anggaran itu pun sebetulnya menurun dari Rp19,8 triliun menjadi Rp13,6 triliun.
Pada APBN 2012, situasinya bertambah buruk: anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar Rp 14,4 triliun atau 1% dari belanja negara. Padahal, dengan biaya kesehatan yang sangat minim, akan semakin banyak rakyat Indonesia yang tidak bisa mengakses kesehatan.
Anggaran yang minim itu menjadi sumber masalah. Misalnya: pemerintah punya program Jamkesmas untuk membantu rakyat miskin. Tetapi anggaran Jamkesmas masih sangat sedikit, sehingga masih banyak rakyat miskin yang belum tercakup dalam program ini. Belum lagi, kalaupun pasien sudah mengantongi Jamkesmas, masih banyak rumah sakit menolak atau mengabaikan mereka.
Tetapi bahaya terbesar terhadap kesehatan rakyat berasal dari rencana pemerintah mengalihkan layanan kesehatan pada mekanisme pasar. Ini nampak dari upaya pemerintah untuk mendorong privatisasi rumah sakit umum milik pemerintah di berbagai daerah. Ini juga sejalan dengan perusahaan sejumlah perusahaan obat milik negara seperti Kimia Farma dan Indo Farma.
Privatisasi bermakna pengalihan tanggung-jawab negara dalam urusan kesehatan kepada setiap individu warga negara. Padahal, urusan kesehatan adalah hak dasar warga negara yang mesti ditanggungjawabi dan dipenuhi oleh negara. Privatisasi juga menjadi langkah pihak swasta untuk merampas layanan publik.
Salah satu dampak langsung dari kebijakan privatisasi itu adalah kenaikan biaya layanan rumah sakit di sejumlah daerah. Di Kupang, privatisasi RSU Yohannes Kupang memicu kenaikan biaya rumah sakit hingga 600%.
Di hampir semua daerah, terjadi perubahan status dari RSUD menjadi badan layanan umum (BLU). Konsep BLU sebetulnya sudah mengarah pada privatisasi (semi-privatisasi). Dengan konsep BLU, setiap rumah sakit berhak mengatur rumah tangga sendiri, termasuk dalam urusan keuangan. Akibatnya, setelah berubah status menjadi BLU, banyak rumah sakit yang menaikkan biaya rumah sakit. Di Purwekerto, Jawa Tengah, kenaikan biaya rumah sakit pasca BLU mencapai 300%. Kejadian serupa juga terjadi di Denpasar, Bali, dimana tariff untuk klas ketiga naik dari Rp 11 ribu menjadi Rp 33 ribu.
Selain itu, akibat kebijakan liberalisasi ekonomi, pihak asing juga diberi kesempatan dalam memiliki industri jasa rumah sakit. Sekarang ini, berdasarkan ketentuan yang dibuat pemerintah, kepemilikan asing terhadap rumah sakit dibolehkan hingga 67%. Hal ini sekaligus membuka pintu bagi masuknya “rumah sakit asing”.
Dengan menguatnya privatisasi sektor kesehatan, mayoritas rakyat Indonesia pun akan semakin tersingkir dari layanan dasar ini. Kita akan semakin sering mendengar berita miris tentang rakyat yang meninggal tanpa sempat disentuh dokter. Padahal, dengan menyerahkan layanan kesehatan kepada swasta, pemerintah sudah melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Sabtu, 12 November 2011
Ruyati Dan Duka Bangsa Indonesia
Beberapa Bulan Lalu kita di kagetkan kabar dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Ruyati binti Satubi, Desa Sukaderma, Kecamatan Sukatani, Bekasi, dihukum pancung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Kabar itu sontak membuat perasaan nasional kita terluka: bukan semata-mata karena Ruyati orang Indonesia, tetapi juga karena pemerintah Indonesia tidak berbuat apapun untuk menghentikan hukum barbar itu.
Lebih menyedihkan lagi, pihak KBRI di Riyadh, Arab Saudi, tidak diberitahu perihal hukum pancung terhadap Ruyati itu. Fakta ini menjelaskan betapa pemerintah Arab Saudi memandang remeh hubungan diplomatik dengan Indonesia, sekaligus merendahkan hak warga asing untuk mendapatkan perlindungan dari hukum internasional.
Kabar duka tentang hukum pancung Ruyati datang hanya empat hari setelah SBY menyampaikan pidato memukau di depan Konferensi ke-100 Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss. Dalam pidatonya, SBY antara lain menyinggung soal perlindungan buruh migran.
Sang Presiden menyatakan bahwa mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya. Pidato menggebu-gebu Presiden SBY itu mendapat standing ovation. Sayang, ibarat kata pepatah “ jauh panggang dari api”, kata-kata yang diucapkan SBY sangat bertolak-belakang dari kenyataan.
Kasus Ruyati memperlihatkan dua hal kepada kita. Yang pertama, kita diperlihatkan tentang bagaimana seorang warga negara Indonesia berjuang hidup-mati di tengah bahaya, di tengah vivere pericoloso, di sebuah negara yang dikenal bengis dan kejam terhadap TKI, tanpa mendapat perlindungan dari pemerintahannya sendiri. Yang kedua, kenekatan Ruyati berangkat ke Arab Saudi, meskipun sudah melewati umur yang dibolehkan peraturan resmi, menjelaskan tentang betapa sulitnya hidup dan survive di negara bernama Indonesia.
Kasus Ruyati adalah yang kesekian. Kita tahu, pada akhir tahun 2010 lalu, seorang TKI bernama Sumiati disetrika dan digunting mulutnya oleh sang majikannya. Itu juga terjadi di Arab Saudi. Lalu beberapa bulan kemudian, Hariyatin, TKI asal Blitar, juga disiksa oleh majikan hingga matanya buta. Ruyati pun terpaksa membunuh majikannya karena berusaha membela diri. Untuk diketahui, Ruyati sudah berkali-kali mendapatkan perlakuan kasar dari sang majikan yang tinggi hati dan arogan itu.
Mengingat bahwa kejadian semacam itu berulang-ulang, dan hanya sedikit yang diproses secara hukum, menjelaskan bahwa perlindungan terhadap TKI di Arab Saudi sangatlah minim sekali. Kejadian itu juga memperlihatkan kepada kita dengan terang-benderang tentang lemahnya posisi diplomatik Indonesia dihadapan Arab Saudi. Kita sudah mengalami krisis kedaulatan nasional yang teramat parah.
Padahal, jumlah TKI di Arab Saudi mencapai 2,1 juta orang, dan menyumbangkan devisa kepada negara sedikitnya 7,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 61 triliun tahun 2010.
Dengan demikian, kita harus melihat bahwa duka mendalam dan simpati rakyat Indonesia terhadap Ruyati sebagai bentuk keprihatinan ‘atas terpuruknya kedaulatan bangsa Indonesia dan hilangnya tanggung jawab pemerintah RI terhadap rakyatnya sendiri’.
Jelas, dalam kasus Ruyati ini, kita patut melemparkan kesalahan kepada: Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Muhaimin Iskandar, dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Muhammad Jumhur Hidayat.
Senin, 07 November 2011
Penggantian SBY-Budiono Tidak Perlu Konstitusional
Ketika bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan Indonesia dengan jalan revolusioner, maka pihak kolonial berusaha membatalkannya dengan menggunakan alasan-alasan konstitusional. “Merdekanya Indonesia,” kata Bung Karno, “bukan karena syarat-syarat konstitusional, melainkan karena adanya situasi revolusioner dan kekuatan manusia yang dapat mewujudkannya.”
Seakan “mengingkari” apa yang sudah dikatakan Bung Karno di atas, para politisi Indonesia yang berasal dari partai berkuasa, tiba-tiba menyodorkan syarat-syarat konstitusional terkait isu penggulingan SBY-Budiono. “Niat penggulingan terhadap SBY adalah tidak konstitusional,” demikian dikatakan sebagaian besar negarawan yang baru mengeja politik itu.
Seperti dikatakan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bahwa kalangan yang berpikir untuk menggulingkan pemerintahan di tengah jalan merupakan kelompok yang sesat pikir demokrasi atau tidak konstitusional. Lebih lanjut, Anas menambahkan, bahwa kelompok yang mengambil jalan di luar konstitusi itu sebaiknya tidak diikuti karena akan menimbulkan destruksi terhadap demokrasi.
Pendapat serupa dilontarkan oleh deretan elit politik dan pimpinan partai dari jajaran kekuasaan, yang pada intinya menganggap “tidak ada jalan” penggulingan dalam konstitusi Indonesia saat ini.
Tidak Bercermin
Politisi-politisi Indonesia ini tidak pernah menggunakan cermin politik untuk melihat dirinya, sehingga lupa akan “keburukan-keburukannya” di hadapan masyarakat luas. Karena perilaku malas bercermin itulah, maka sebagian besar wacana kritis dari luar kekuasaan selalu dianggap pesan negatif yang harus di buang jauh-jauh.
Wacana penggulingan tidak jatuh dari langit, tidak pula karena bisikan dewa-dewa, apalagi karena mengigau di siang hari. Wacana penggulingan memiliki basis material yang nyata, sebuah keadaan yang melahirkan marah, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan.
Pertemuan tokoh dan aktivis di Muhammadiyah, umpamanya, yang diklaim istana sebagai motor penggerak isu penggulingan, seharusnya dianggap refleksi kritis berbagai elemen bangsa atas keterpurukan saat ini.
Jika melihat prestasi pemerintah selama setahun ini, maka kita akan sulit sekali menemukan “secuil” pun kemajuan. Sebaliknya, keterpurukan dan bayang-bayang kehancuran merintangi masa depan bangsa ini.
Di bidang perekonomian, kita menemukan kenyataan-kenyataan seperti semakin banyak perekonomian nasional yang ditaklukkan asing, de-industrialisasi, utang luar negeri yang sangat besar, dan hancurnya pasar di dalam negeri.
Untuk hukum dan politik, pemerintahan SBY banyak dikritik soal pemberantasan korupsi, yang sekarang ini seperti diberikan perlakuan khusus (remisi, perlakuan khusus untuk koruptor di penjara, dsb). SBY juga dikritik lantaran tidak bisa menjaga kedaulatan nasional di hadapan bangsa-bangsa lain.
Sementara dalam urusan budaya, pemerintahan SBY tidak juga punya prestasi yang dibanggakan, malahan patut dituduh sebagai perusak jiwa dan mental bangsa Indonesia. Ada banyak kasus untuk membuktikan hal ini, seperti merebaknya kekerasan, penindasan terhadap golongan minoritas, gangguan terhadap kebebasan berkeyakinan, dan lain sebagainya.
Seharusnya, jika pemerintahan SBY punya kepekaan politik, ketimbang meronta-ronta dan menjerit-jerit, sebaiknya menggunakan sisa waktu yang ada untuk memperbaiki kebijakan ekonomi dan politik, termasuk memutar haluan ekonomi dan politik jikalau memang dirasa sudah melenceng atau gagal.
Meluasnya ketidakpuasan
Hasil temuan berbagai lembaga survey mengenai pupularitas SBY yang menurun, masih merupakan potret di atas permukaan. Jauh dari temuan lembaga survey, ketidakpuasan rakyat justru tercermin dari meningkatkan ketegangan sosial di kalangan masyarakat sendiri, seperti kekerasan, kerusuhan, main hakim sendiri, dan lain-lain.
Ketidakpuasan ini bukan saja dipicu oleh kegagalan ekonomi, tetapi juga rasa ketidakadilan dalam penegakan hukum dan sistim politik yang semakin menyingkirkan mayoritas rakyat. Adalah bahaya besar ketika rakyat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan aparatusnya.
Sayangnya, banyak bentuk ketidakpuasan ini justru dikelola oleh kelompok reaksioner, yang di belakangnya pemerintah juga, untuk mencegah ketidakpuasan itu berubah menjadi serangan vertical terhadap kekuasaan.
Kehendak rakyat
Para politisi Indonesia itu lupa, bahwa pemegang kekuasaan sepenuhnya di republik ini adalah rakyat, sedangkan SBY hanya pemegang mandat yang dapat diganti kapan saja jika rakyat menghendaki.
Ada yang mengatakan, SBY adalah presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dan jumlah dukunganya melebihi 60%, sehingga tidak bisa dijatuhkan selain dengan jalan konstitusional pula.
Namun, perolehan suara itu tidak berlaku mutlak, sebab dukungan setiap orang tidak juga berlaku mutlak. Seseorang bisa menggeser dukungan atau menjadi oposisi tatkala bertemu dengan situasi “ketidakpuasan umum”. Seorang pendukung SBY saat pemilu bisa berubah menjadi penentang di masa sekarang. Itulah hukum perimbangan kekuatan.
Dalam pengertian itu, bahwa rakyat berhak menggunakan jalan apa saja untuk memanifestasikan kekuasaannya, termasuk jalan penggulingan kekuasaan, tatkala rejim berkuasa tidak menghargai mandat rakyat. Sebab, sejarah telah mengajarkan pula dengan berulang-ulang, bahwa hanya sedikit penguasa yang mau meletakkan kekuasaan secara damai atas desakan rakyat.
Sekarang, kita kembali kepada pertanyaan, sejauh mana dukungan mayoritas rakyat terhadap rencana penggulingan ini. Sebab, tanpa dukungan mayoritas rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan, rencana penggulingan hanya akan menjadi maneuver elit atau semacam revolusi dalam istana
Rabu, 02 November 2011
“Perkara Sampah Masuk Keranjang Sampah”
"Itu memang pasal sampah dari dulu. Pasal 335 KUHP mengatur perbuatan tidak
menyenangkan tapi tidak jelas apa batasannya
ketidakjelasan pasal ini sering dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Tak jarang, pasal ini digunakan penguasa untuk meyudutkan rakyat kecil.
"Biasa digunakan kalangan atas untuk menekan kalangan bawah. Meski demikian pasal ini tetap eksis," tak jarang pasal ini ikut memanaskan ranah politik nasional. Politisi sering melaporkan tindakan tidak menyenangkan meski nyaris tanpa hasil.
"Pasal ini terbuka untuk dimanfaatkan sewenang-wenang oleh mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi atau Politik.
Bulan Juli lalu aku mendapatkan perintah untuk meneliti berkas perkara dari penyidik perihal dugaan “perbuatan tidak menyenangkan”, ini tentu saja bukan yang pertama aku “mendapatkan” perkara dengan sangkaan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, namun bila aku ingat tidak dari semuanya saat tuntutan (requisitoir) dibacakan, aku membuktikan pasal ini, ya biasanya memang dalam berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik pasal yang dikenakan biasanya berlapis ataupun bersifat alternatif seperti Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP disandingkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 12/Drt/1951 yaitu perbuatan secara tanpa hak membawa senjata penusuk maupun senjata penikam. Aku sih ingin cerita kenapa aku tidak membuktikan Pasal 335 itu, tidak lain karena setiap kali mendapatkan pasal itu, aku merasa perbuatan dari tersangka/terdakwa itu tidak memenuhi unsur dari Pasal 335 itu, namun anehnya selama kurang lebih 2 tahun aku bergelut dalam pekerjaan yang senantiasa dan selalu berhadapan dengan masalah ini, banyak sekali perkara yang dikerjakan penyidik menyelipkan Pasal 335 di dalam sangkaannya, ini menjadi mengingatkanku pada waktu kuliah dulu bahwa perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP adalah “pasal karet” adalah “keranjang sampah”, bahkan banyak yang mengatakan bahwa semua perbuatan dapat masuk dalam pasal ini, harusnya pasal ini dihapus, tapi benarkah demikian sederhana?
Sebelum mencoba mempreteli Pasal 335 ini, aku ingin sedikit melanjutkan cerita tentang berkas perkara yang aku dapat bulan juli tadi, ya tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik adalah tunggal, gambaran kasus posisinya kurang lebih begini “pelapor sebutlah A, tengah membuang 1 kantong plastik sampah di areal sekitar pasar desa, setelah membuang sampah tersebut A pulang dan kurang lebih 10 menit setelah itu, tetangganya si A katakanlah B yang tinggal di sekitar pasar, mengambil sampah yang dibuang si A, dimana selanjutnya membawa dan melemparkan sampah tersebut ke rumah A yang mengenai kaca depan rumahnya, karena merasa terhina, A kemudian melaporkan B atas perbuatan tidak menyenangkan.”, miris juga ketika mendapatkan perkara ini, “perkara sampah” yang masuk “keranjang sampah” ironis..
Baik kita akan coba membedah perbuatan tidak menyenangkan ini, pertama dengan melihat bunyi Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, disini aku memakai KUHP terjemahan/disusun R. Soenarto Soerodibroto (pada pokoknya KUHP mana aja sama karena semua berasal dari Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dari jaman penjajahan Belanda di Indonesia (Nederlandsch Indie), jadi kalaupun ada perbedaan hanya pada penggunaan istilah dan susunan kalimat saja), dimana pasal ini berbunyi “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Bahwa bila kita melihat rumusan bagian inti delik (delicts bestanddelen) tersebut maka kita dapat melihat bahwa tindak pidana tersebut berupa :
1. Pelaku adalah barang siapa, artinya setiap orang (person) yang melakukan perbuatan tersebut yang mampu bertanggung jawab menurut hukum.
2. Bentuk perbuatan adalah memaksa, dimana yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) sehingga orang itu melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) berlawanan dengan kehendak sendiri, (R. Soesilo).
3. Objeknya adalah : orang, bahwa perbuatan memaksa tersebut ditujukan kepada orang.
4. Dilakukan dengan Secara melawan hukum, singkatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (lihat Arrest HR 6 Januari 1905 dan Arrest HR 31 Januari 1919).
5. Cara melakukan perbuatan (bersifat alternatif), yaitu dilakukan baik :
a. dengan kekerasan; untuk unsur kekerasan, lihat Pasal 89 KUHP, dimana disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.. dimana menurut R. Soesilo, “tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. atau dengan perbuatan lain; maupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
b. dengan ancaman kekerasan; atau dengan ancaman perbuatan lain; maupun dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan.
5. Tujuan pembuat melakukan perbuatan (bersifat alternatif) :
a. orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu.
b. orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu.
c. orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu.
Dalam prakteknya, penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung R.I. (MA) akan menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksaan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis.
Dalam putusan Nomor : 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende Nomor : 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.” Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut.
Bahwa penekanan pada unsur “memaksa” sebenarnya adalah logis, karena perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 ini bila kita kaji sesungguhnya termasuk dalam Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang yang diatur dalam Bab XVIII KUHP, dimana bila kita melihat tindak pidana atau katakanlah kejahatan yang diatur di dalamnya kesemuanya menentukan bahwa seorang korban kejahatan tidak dapat berbuat-apa, tidak berdaya dan/atau tidak memiliki pilihan (kemerdekaan) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana kehendaknya sendiri, kita bisa melihat misalnya Pasal 324, 325, 326, 327 KUHP mengatur tentang kejahatan perniagaan budak, Pasal 328 KUHP penculikan, 329 KUHP mengangkut orang ke daerah lain tidak sebagaimana perjanjian kerja, Pasal 330, 331, 332 KUHP perihal membawa lari anak dan/atau wanita belum dewasa, 333, 334 KUHP merampas kemerdekaan seseorang (menahan/mengurung seseorang baik karena sengaja maupun alpa), Pasal 335 KUHP perbuatan tidak menyenangkan (?), Pasal 336 KUHP pengancaman (ada beberapa perbuatan alternatif di dalamnya.
Dengan demikian masihkah kita mengatakan bahwa Pasal 335 KUHP ini merupakan keranjang sampah? merupakan pasal karet? pasal yang dapat digunakan siapa saja yang merasa tidak senang akan ulah atau perbuatan seseorang yang kemudian melaporkan hal tersebut kepada kepolisian dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana yang dilakukan A yang tidak senang akan tindakan tetangganya si B yang melempar rumahnya dengan sekantong plastik sampah. Bahwa benar salah satu cita hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam hidup bermasyarakat, akan tetapi tidak semua “masalah” yang notabene-nya adalah dassolen yang tidak ketemu/klop dengan dassein harus diselesaikan lewat institusi yang bernama hukumkan?
Bahwa dalam kehidupan bertetangga kita semua mengharapkan ketertiban, kerukunan, namun tentu tidak jarang kita temui kerukunan tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, katakanlah ada tetangga kita yang seringkali menyalakan tape/televisi/radio dengan suara yang keras hingga membuat bising (apalagi dengan selera musik yang berbeda), ada tetangga kita yang kebetulan rumahnya adalah sekretariat organisasi yang sering mengadakan pertemuan, rapat hingga dini hari, ada tetangga (perempuan) kita yang sering menerima tamu lelaki hingga tak kenal waktu dan banyak lagi tetangga kita lainnya yang kadang pikir, sikap, prilakunya tidak bisa kita terima, tapi pertanyaannya apakah semua harus kita selesaikan lewat institusi hukum? Tentu tidak bukan, untuk itulah dalam kehidupan bermasyarakat, kehidupan bertetangga ada institusi yang bernama Rukun Tetangga (RT) ada institusi yang kita sebut dengan Rukun Warga (RW), ada institusi yang kita sebut dengan Kepala Desa beserta jajarannya, itulah institusi-institusi yang juga berperan dalam mewujudkan ketertiban, kerukunan dalam hidup bermasyarakat.
Cukuplah kita melihat berita-berita seperti Hamdani yang “melakukan pencurian” sandal bolong PT Osaga Mas Utama yang ia kenakan untuk mengambil air wudhu; nenek minah yang “mencuri” 3 buah kakao di Kebun PT. Rumpun Sari Antan untuk dijadikan bibit; Basar dan Kholil dengan 1 buah semangka; atau perbuatan tidak menyenangkan untuk CEO Buzz & Co, Sumardy si pengirim peti mati; perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan Lim Ping Kiat yang dilaporkan dilaporkan PT ERA Indonesia ke Polres Jakarta Barat karena telah menulis surat pembaca karena merasa dirugikan saat membeli rumah di Taman Ratu melalui agen jasa penjualan rumah ERA Graha Asri, perbuatan tidak menyenangkan Hendarman Supanji yang dilaporkan Yusril Ihza Mahendra karena Pagar Kejaksaan Agung yang tergembok; perbuatan tidak menyenangkan yang dilaporkan Nurdin Halid atas ucapan Saleh Iskandar Mukandar (Ketua Persebaya 1927) di salah satu acara di sebuah stasiun televisi yang mengatakan “Semua pengurus PSSI penipu”.
“Hukum hendaknya membawa bahagia bukan sengsara”..
Korupsi Dan Perubahan Etis
Korupsi memang menjadi masalah besar di negeri ini. Anda sulit menemukan pejabat bersih dan tidak korup di negeri ini. Tidak bisa dipungkiri pula, bahwa korupsi telah terlalu banyak merugikan negara dan menghambat kebijakan pembangunan.
Meskipun korupsi ditolak oleh fikiran umum, tetapi tetap saja rakyat rela menyerahkan suaranya kepada politisi korup saat pemilu. Di sinilah letak kontradiksinya: korupsi jelas ditolak oleh peraturan umum, tetapi tetap saja rakyat mau memberi suara kepada politisi-politisi korup itu. Sebagian intelektual pun angkat bicara, “masyarakat kita sudah rusak. moralitas dan mental rakyat sudah teracuni”.
Muncullah keinginan untuk melakukan perubahan etis, dan pintu masuknya adalah meluaskan gerakan anti-korupsi. Gerakan anti-korupsi pun muncul dimana-mana, khususnya yang digerakkan oleh akademisi dan LSM. Mereka pun berani menyimpulkan: sistim politik korup adalah problem pokok bangsa ini. Di belakang gerakan ini sebenarnya paling banyak adalah kaum liberal.
Sementara itu, pada sisi yang lain, ada ketidakpuasan yang sangat luas terhadap situasi sekarang ini. Kami mengira, ketidakpuasan itu sebagian besar adalah kemuakan orang terhadap sistim kapitalisme itu sendiri—sekalipun cara penyampaiannya tidak secara eksplisit menyebut diri “anti-kapitalis”. Di Indonesia, sebagian besar keresahan rakyat itu merupakan respon terhadap kegagalan kapitalisme neoliberal.
Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sedang digugat dimana-mana, baik di negeri kapitalis maju maupun di negara berkembang. Inilah semangat gerakan “occupy wall street” yang bermula di Amerika Serikat, kaum ‘indignant’/los indignados di Spanyol, pemberontakan mahasiswa di Chile, kebangkitan rakyat di Arab, dan lain-lain.
Tetapi kaum liberal, yang sejatinya adalah anak kandung atau pendukung setia kapitalisme, berusaha menutupi kontradiksi itu. Salah satunya dengan menumpang kepada isu anti-korupsi ini; seolah-olah problem sistem saat ini hanya korupsi, seolah-olah kejahatan kapitalisme karena moral hazard, dan lain.
Dengan gerakan anti-korupsi, kaum liberal berusaha menumpang isunya pada keresahan massa dan memoderasi gerakan rakyat menjadi sekedar ‘perbaikan sistem’. Mereka berusaha mengalihkan perhatian massa dari basis kemarahan semula; ketidakadilan sosial ekonomi, pengusaan sumber daya oleh segelintir orang, dan kehancuran masa depan karena kapitalisme.
Dengan menggunakan isu anti-korupsi, kaum liberal berharap adanya semacam isu bersama yang menyatukan seluruh kelas dalam masyarakat. Mereka berusaha menggambarkan korupsi sebagai musuh dari semua kelas. Tetapi, pada kenyataannya, yang begitu bersemangat dengan isu anti-korupsi ini adalah klas kapitalis dan klas menengah. Klas kapitalis juga, dalam beberapa derajat, setuju dengan gerakan anti-korupsi ini sebagai jalan memaksimalisasi keuntungan dan mendorong persaingan sehat.
Dalam banyak kasus, penggunaan isu “anti-korupsi” justru menjadi senjata imperialis untuk melemahkan posisi negara nasional dalam bernegosiasi. Negara-negara yang diperintah oleh politisi korup, yang telah didiskreditkan di hadapan massa dengan isu korupsi, tidak punya pilihan lain kecuali tunduk pada aturan penguasa global (negeri-negeri imperialis).
Dalam kasus lain, isu anti-korupsi juga menjadi “senjata efektif” untuk mendorong privatisasi perusahaan negara dan lembaga-lembaga milik publik, dengan menyebut korupsi sebagai sumber inefesiensi dan mismanajemen perusahaan negara. Padahal, sebagaimana diketahui banyak orang, penggunaan “BUMN sebagai sapi perahan” banyak dilakukan oleh rejim-rejim otoriter yang dulunya didukung oleh imperialis.
Kita perlu menekankan bahwa korupsi adalah inheren dalam kapitalisme. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang hidup dan berkembang dengan melegitimasi klas kapitalis merampok nilai lebih yang diciptakan oleh kelas yang berproduksi. Dengan demikian, memerangi korupsi sampai tuntas hanya dimungkinkan dengan menghapus kapitalisme itu sendiri
Selasa, 01 November 2011
KPK dan Kepentingan Bangsa
KPK disebut-sebut disetir oleh lembaga asing. Isu itu sebetulnya sudah lama berseliweran, tetapi kemudian divocalkan oleh Fachry Hamzah, politisi dari PKS itu. Bagi sebagian orang, lontaran politisi kelahiran Sumbawa, NTB, itu barangkali untuk membela sebuah kepentingan politik partainya. Maklum, beberapa kawan separtainya sedang menjadi target operasi KPK.
Tetapi, tanpa bermaksud menjadi “pembela DPR”, ada baiknya kita tidak reaksioner melihat pendapat itu dan melihatnya sebagai bentuk “kritisisme”. Apalagi, jika benar KPK menerima banyak bantuan dana asing, maka tentu hal itu akan berpengaruh pada keberpihakan KPK dalam memberantas korupsi.
Pada tahun 2009, misalnya, KPK memperoleh hibah sebanyak Rp 140,6 miliar. Bantuan ini didapatkan dari Badan Bantuan Pengembangan Internasional Amerika (USAID) sebesar Rp 68,7 miliar, Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp 1,2 miliar, GTZ Jerman sebesar Rp 26,5 miliar, Danish International Development sebesar Rp 12,8 miliar, dan Uni Eropa sebesar Rp 35,3 miliar.
Akan tetapi, Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam klarifikasinya menegaskan bahwa bantuan pihak asing itu bukan dalam bentuk uang, tapi pelatihan-pelatihan. Ia sendiri tidak menjelaskan, atau setidaknya memberi jaminan, bahwa bantuan itu tidak akan mempengaruhi independensi KPK.
Tetapi, beberapa bulan terakhir, kita menemukan bahwa KPK semakin lembek dan terkesan tebang pilih dalam memberantas korupsi. Kita bisa melihat bagaimana KPK mengabaikan desakan publik untuk menuntaskan kasus bank century. Bahkan KPK tidak pernah memanggil langsung dan memeriksa dua nama yang disebut-sebut terlibat skandal ini, yaitu Sri Mulyani dan Budiono.
Juga, adanya temuan 14 perusahaan asing yang mengemplang pajak, sampai sekarang belum jelas sejauh mana penyelidikannya oleh KPK. Padahal, pengemplangan pajak itu sudah berlangsung selama lima kali pergantian menteri.
Kita juga melihat kemandulan KPK dalam menangani kasus-kasus besar, seperti kejahatan-kejahatan bailout, privatisasi Krakatau Steel, BLBI dan mafia pajak Gayus Tambunan.
Bagi kami, KPK saat ini mengidap sejumlah kelemahan mendasar:
Pertama, politik anti-korupsi yang dijadikan pakem oleh KPK sangat kental dengan aroma politisasi. Jadi, isu korupsi dijadikan sebagai alat untuk menyandera lembaga politik tertentu atau memukul lawan-lawan politik.
Negeri imperialis, melalui lembaga-lembaga donornya, juga berkepentingan menumpangkan kepentingan mereka dalam isu anti-korupsi ini, khususnya untuk menyandera lembaga politik dan melumpuhkan kekuatan-kekuatan politik.
Makanya, jangan heran, ketika banyak kaum liberal yang berteriak anti-korupsi, maka sasaran mereka adalah partai politik dan institusi-institusi politik. Ini sangat berguna untuk menanamkan depolitisasi kepada massa, dan sekaligus melumpuhkan lembaga politik tersebut. Dengan demikian, mereka bisa menjalankan agenda neoliberal tanpa ancaman dari kekuatan politik manapun.
Kedua, pemilihan pimpinan KPK sangat tidak demokratis. Sejauh ini, ketentuan pemilihan ketua KPK mensyaratkan bahwa presiden mengajukan sejumlah nama, lalu diseleksi dan dipilih oleh DPR, dan selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.
Karena model pengangkatannya seperti itu, KPK seringkali menjadi alat politik diantara dua institusi politik tersebut untuk saling menyandera.
Menurut kami, pemilihan pimpinan KPK mesti didemokratiskan. Caranya: seluruh pimpinan KPK dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini bisa dipaketkan dalam sebuah pemilu khusus untuk memilih pejabat kehakiman/peradilan di semua level (peradilan negeri, tinggi, MA), mahkamah konstitusi, dll.
Selain itu, harus diberlakukan syarat-syarat untuk mencari calon-calon yang sesuai dengan harapan: (1) Para pendaftar tidak boleh terdaftar dalam partai politik manapun setahun menjelang pemilihan, (2) Sangat menguasai dan teruji dalam bidang pekerjaan yang akan digelutinya, dan (3) Kandidat harus membuktikan tidak pernah membela orang yang melakukan kejahatan terhadap negara dan tidak pernah membela orang yang terlibat korupsi.
Ketiga, KPK belum memperlihatkan kinerja pada upaya pencegahan korupsi. Dalam hal ini, ketika berbicara pencegahan, maka KPK mestinya membangkitkan partisipasi rakyat banyak untuk mencegah terjadinya korupsi.
Cita-cita nasional kita adalah masyarakat adil dan makmur. Seharusnya, sebagai alat negara, KPK bekerja menurut cita-cita nasional itu. Salah satu bentuknya adalah memberantas korupsi tanpa ampun dan tanpa pandang bulu, sebagai cara untuk mengamankan anggaran negara guna pembangunan.
Langganan:
Postingan (Atom)